Oleh Lukman Munir “Sulum Sang Gampong Legenda Yang Dilupakan”

Meskipun tidak terlalu jauh dan terpelosok ke pedalaman di bandingkan dengan  Gampong tetangganya di Kecamatan Tenggulun, Gampong Sulum masih tergolong udik.  Seringkali penduduk setempat jika mereka menuju ke Ibukota Kabupaten Aceh Tamiang harus melalui angutan sungai.Soalnya jalan akses menuju ke Kecamatan Sekerak harus digunakaan akses melalui jalur angkutan sungai atau yang lebih dikenal dengan angkutan “getek”, perahu motor boat yang sudah puluhan tahun berfungsi sebagai sasana transportasi utama.

Lalu apakah melalui jalur angkutan darat  tidak bisa dijangkau seperti pada umumnya kawasan Gampong tetangganya.  Bisa. Tetapi masih amat terbatas khususnya dengan angkutan digunakan kepentingan perusahaan perkebunan karet dan sawit PT Seumadam Aceh Timur yang memiliki lahan HGU di Gampog Sulum sudah berjalan sekitar lebih tiga puluh tahun yang lalu.  Namun tak bisa diharapkan sebagai alat transportasi digunakan penduduk setempat, khususnya mendistribusi hasil kebun dan ladang mereka ke pasar ibukota Kabupaten, Kuala Simpang.

Tentang perusahaan karet ini sendiri hingga kiri kasus mencaplok areal lahan hutan adat milik raktat setempat sekitar 430 Ha tak kunjung selesai. Meskipun diakui penduduk setempat sebagian pekerja deres karet di perusahaan tersebut direkrut dari penduduk setempat, baik tenaga wanita maupun pria . Konon kabarnya sudah berulang kali dimediasi oleh sejumlah tokoh masyarakat setempat hingga saat ini tak kunjung membuahkan kesepakatan ganti rugi atau pengembalian kepada petani warga setempat.

Riwayat Sulum 

Sulum. Kata-kata tersebut oleh masyaraakat Tamiang sering dikaitkan dengan cerita rakyat setempat, seorrang tokoh legendaris  yang memerintah Kerajaan Bukit Kerang (Karang)  sekitar abad ke 11 Masehi dikenal dengan nama Tan Peunoh.  Tan Peunoh datang menguasai Bukit Kerang setelah kekalahan perang denga npasukan Raja Rayendra Cola dari India Selatan hendak menaklukkan Kerajaan Teluk Aru, jauh sebelum Sriwijaya dan Majapahit menyerang  Teluk Aru dan Kerajaan Bandar Khalifah Peureulak. 

Kenapa dengan Sulum menjadi disebut-sebut dalam cerita rakyat Tamiang. Disana hidup masyarakat pedalaman etnis suku Gayo. Kehidupan sehari hari etnis Gayo di zaman dahulu cukup akrab dengan tanaman bambu. Rebung adalah salah satu sayur kesukaan utama lauk sehari hari mereka waktu itu.  Aneka bambu ditanam di sekitar rumah dan hutan mereka diami.  Disitulah lahir lagenda Putri Beutong alias Putri Bambu,  setelah melahirkan putranya di letakkan di rerumbunan pohon Buloh (Suloh) diketemukan oleh Tan Peunoh ketika sang Raja berburu di hutan Sulum.

Legenda cerita rakyat Putri Beutong ini di kalangan masyrakat Gayo hingga dewasa ini masih dipercayai ada tokohnya. Bahkan langsung dikaitkan  hasil perkawinan Putri Beutong dengan Meurah Gajah yang tak lain adalah masih garis Sultan Mahmud Malikuzzahir  asal Samudra Pasai mempersunting permaisuri dari Sultan Kerajaan Bandar Khalifah Peureulak. Putri Beutong ini bahkan dikaitkan punya hubungan keluarga dengan Meurah Sekedang di Bener Meriah dan Meurah Itam (Isak) di Isak Aceh Tengah.  Dimana garis keturunan ini dipercayai punya pertalian darah dengan Sultan Iskandar Muda yakni Meurah Lilawangsa.

Kenapa dengan Sulum ? Selain sebagai sebuah kawasan koloni zaman lampau yang menyimpan banyak kisah kehidupan masa lalu, khususnya perjalanan Raja-raja Tamiang, dewasa ini hanya sedikit perhatian dari Pemda setempat melirik kesana. Buktinya, bangunan satu-satunya paling mewahan berdiri disana hanya bangunan gedung SMA Negeri  Sekerak. Selebihnya hanya bangunan Kantor Geusyik, Sekolah Dasar dan satu unit gedung Pustu Kesehatan setempat.

Lagenda Pucok Suloh

“Sulum” dalam bahasa Gayo artinya besar, Sungai Sulum namanya Sungai yang besar. Bayangkan lebar sungai itu dahulu mencapai 300 meter seperti laut bagi penduduk setempat.  Boleh jadi Sulum asal kata Sulung dalam bahasa Melayu artinya anak paling besar atau tertua.

Kalau benar di kawasan Sulum ditemukan hasil perkawinan putri Beutong dengah Meurah Gajah (bagi warga Gayo menyebutnya Gajah Puteh) yang diketemukan oleh Po/Tan Peunoh ketika sang Raja berburu di hutan Sulum, hampir seribu tahun yang lalu, dimana putra bayi di hutan itu kemudian dinobatkan menjadi Raja Pepala di Tamiang atau dikenal dengan nama Po Pala, patut Gampong Sulum ini dijadikan Gampong Cagar Budaya, Situs Purbalaka.

Alasannya adalah disitu ditemukan pokok rumpun Buloh/bambu (rebung) “Tan Mieng”  alias bulu bambu tidak gatal meskipun lazim hambu buluh bulunya gatal ketika dipegang.  Nama Tamiang dinobatkan dari asal kata tersebut. Hingga kini sudah ditambalkan menjadi nama sebuah Kabupaten yakni  Aceh Tamiang.

Dari lima belas kecamatan yang mewilayahi Kabupaten Aceh Tamiang, Kecamatan Sekerak boleh digolongkan kawasan terkebelakng dan udik dalam berbagai hal, disebabkan oleh minimnya sasara dan prasana pendukung akses ekonimi dan fasilitas transportasi yang menjadi faktor utama urat nada kehidupan masyarakat. Bayangkan jika meluap dan banjirnya Sungai Sulum dan Sungai Tamiang praktis urat nadi kehidupan disana mati suri, dalam artian amat bergantung kepada Gampong tetangganya yang sudah jauh lebih lengkap sarana dan prasana fasilitas kebutuhan kehidupan lebih lengkap.

Peunsi Sulum

Sebagai kawasan yang bertetangga dengan Provinsi Sumatra Utara, Gayo Lues dan Aceh Timur, sesungguhnya potensi alam dimiliki Gampon Sulum amat menjanjikan. Disana hampir semua jenis tanaman holtikultura tumbuh subur. Cempedak, Nangka, Durian, Rambutan, Coklat, Jernang,pinang, mangga, langsat, duku serta aneka jenis sayur hidup subur. Teristimewa tanaman nilam dapat tumbuh diaman di sepanjang lembah Gampong Sulum.

Maka tak heran kini berduyun duyun penduduk dari Aceh Timur, Kota Langsa bahkan dari Sumtra Utara  melalui oknum person warga Gampong tetangganya dari Gampong Suka Makmur, berlomba ambil lahan berkebun di Sulum. Praktek ini kemudian kini menjadi salah satu kasus pelik dihadapi masyararat setempat tanpa terkendali oleh pihak unsur aparat terkait. Jika tak segera ditangani secara persuasif dan kondusif akan menimbulkan banyak kasus sengketa kepemilikan dan bahkan mengarah kepada tindakan kekerasan antar pemilik lama dan warga pendatang yang menggarap lahan dewasa ini tanpa sepetahuan aparat Gampong setempat.

Ancaman nyata Gampong Sulum menurut catatan pihak Badan Pengawasan Singai dan Rawa-rawa Wil I Aceh hampir 30 pct kawasan tersebut selalu setiap tahun berhadapan dengan bencana banjir, 20 pct abrasi  akibat tekanan gelombang banjir besar di sepanjang tahun, 19, 20 pct kasus longsor dan sekitar 17 pct ancaman peristiwa kebakaran hutan.

Di satu pihak Gampong Sulum memiliki khasanah sejarah yang melegeda, di pihak lain timbul ancaman persengkataan lahan berlapis lapis, antara pemilik perusahaan HGU dan warga lpendatang dari luar kawasan setempat ingin menguasai lahan cukup subur disana. Akankah warga Sulum penduduk asli setempat tergerus seperti mereka alami ketika banjir menghadang mereka di tahun 2009 yl dari Gampong Sulum lama di tengah-tengah oase dikelilingi Sungai Sulum dan Sungai Tamiang, kemudian pindah ke Sulum yang ditempati sekarang lebih ke kawasan berbukit dan lembah dalam bentangan bukit barisan langsung berpapasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser.