Oleh Lukman Munir
Pulau Kambing, Bengkelang Riwayatmu Kini
Bagi masyarakat Aceh Tamiang khususnya dan Aceh pada umumnya, nama Bengkelang pernah dikejutkan oleh tragedi banjir bandang di tahun 2006 yang begitu dahsyat meluluh-lantakkan sebuah perkampungan di Hulu Sungai Tamiang selang dua tahun setelah bencana Gempa dan Tsunami Aceh di tahun 2004. Tragedi peristiwa itu membawa hanyut puluhan rumah disapu banjir berikut dengan ternak peliharaannya dan yang tersisa pertapakan rumah dan puing puing bekas disapu banjir. Kalau di Kecamatan Tamiang Hulu ada Gampong Pulau Tiga, maka di Kecamatan Bandar Pusaka ada Pulau Kambing yang kini tinggal dalam kenangan, seiring dengan lagenda sejarah Raja Pati dan Raja Teming pernah menetap disana ketika menjadi Raja Tamiang berapa abad yang lalu.
Ditilik dari sumber daya potensi alam dan budaya dimiliki Gampong Bengkelang , apabila dikelola secara arif dan tepat guna, kawasan tersebut akan memunculkan sebuah kawasan andalan baru, bagi Kabupaten Aceh Tamiang. Hal ini disebabkan potensi kekayaan alam yang subur, segala jenis tanaman tumbuh dengan baik dan akses pasar makin memadai ditambah dengan keunikan budaya etnis Gayo masyarakat yang bermukim disana.
Dalam beberapa tahun belakangan ini Gampong Bengkelang makin dikenal luas oleh masyarakat khususnya pemerhati bencana alam dan lingkungan di Indonesia. Setelah pasca banjir yang menimpa Gampong berada di salah satu kawasan hulu sungai Tamiang pada tahun 2006, delapan belas tahun yang lalu. Kawasan Gampong Bengkelang lama tersebut dikenal dengan sebutan Pulau Kambing. Kenapa dikenal dengan nama Pulau Kambing erat kaitannya kawasan ini dikelilingi oleh bentangan alur Sungai Tamiang, termasuk kawasan inti penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di Provinsi Aceh.
Pulau Kambing hanya tinggal nama sebagai pusat pemukiman masyarakat etnis Gayo yang bermukim di kawasan dataran tinggi Kabupaten Aceh Tamiang berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur dan Gayo Lues. Pulau Kambing inilah setelah hancur binasa oleh banjir bandang dijadikan kebun tananam amat subur dimiliki oleh 34 orang warga, berupa pohon Cempedak, Durian, Rambutan, pohon Karet (Rambong), Sengon hingga pebun Palawija aneka sayur mayur.
Tentu tak ketinggalan tanaman andalan warga dengan pohon Sawit rakyat, kebun Kopi, Jengkol, Pinang Dan Pohon Rambe. Pulau Kambing inilah menjadi pusat perkampungan Bengkelang lama yang berjarak sekitar 44 km dari Ibukota Kabupaten Aceh Tamiang ke arah Tenggara pedalaman kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Luas wilayahnya sekitar 1.135 Ha. Populasi penduduknya sekitar 827 Jiwa (302 KK) Gampong Bengkelang yang ditempati pasca banjir dikenal dengan Bengkelang baru agak ke atas berbatas dengan Gampong Sulum di mukim Sangka Pane Kecamatan Sekerak . Terdiri dari dua Dusun yakni Dusun Selamat dan Dusun Sriwijaya.
LEGENDA KERBAU DAN TAMAN BUAH
Potensi alam dikawasan ini sebagai bentangan alam kawasan Gunung Leuser amat kaya dengan aneka flora dan fauna, terutama aneka macam burung kekayaan alam setempat, Jamur Hutan, aneka buah-buahan hasil hutan dan kebun rakyat, sayur mayur serta tanam Padi Tegalan (lahan kering). Potensi tersebut belum maksimal digarap oleh warga setempat dikarenakan kekurangan tenaga pekerja dari warga setempat. Dibandingkan potensi lahan demikian kaya hingga berjarak 13 km membentang mata mengitari perkampungan, kini dijadikan aneka lahan perkebunan. Jika datang masa paceklik tidak jarang diantara warga setempat memburuh pada perusahaan perkebunan PT Seumadam maupun milik PTPN I untuk menopang kebutuhan mereka sehari hari bersama keluarganya.
Bengkelang dalam bahasa etnis Gayo maknanya “berpisah”. Konon menurut cerita sejarah penduduk setempat, asal muasal Gampong Bengkelang didiami oleh dua orang Raja kecil yakni Raja Pati dan Raja Teming di hulu Sungai Tamiang. Kedua beliaulah mendiami Pulau Kambing ini. Meski digelar dengan Pulau Kambing konon yang banyak dipelihara ternaknya adalah Kerbau, dimana di sekeliling kawasan itu dikelilingi alur Sugai Tamiang. Suatu hari konon menurut cerita rakyat setempat harus dipisahkan Kerbau milik keduanya. Selanjutnya satu bulan kemudian mereka baru ketemu di kampung yang berbeda. Peristiwa itulah ditambalkan menjadi nama Gampong Bengkelang hingga sekarang.
Bedanya setelah Pulau Kambing diterjang banjir bandang cukup dahsyat di tahun 2006, Gampong Bengkelang lama dipindahkan relokasi ke kawasan Bengkelang sekarang ini. Sementara kawasan Bengkelang lama dijadikan lahan perkebunan oleh warga setempat.
Mengamati potensi lahan perkebunan rakyat yang memiliki riwayat panjang tradisi salah satu pusat buah buahan di Aceh Tamiang seperti Kebun Pisang, Durian, Cempedak, Rambutan, Mangga Hutan, Kopi, Pinang, Coklat, Jengkol dan Rambe, Manggis Serta Buah Punti Dan Mancang. Agaknya beberapa fakta inilah amat dimungkinkan diusulkan sebagai program kawasan Agro Wisata untuk Kabupaten Aceh Tamiang dimasa mendatang. Mengingat akses jalan provinsi ke Ibukota Kabupaten yakni Kuala Simpang semakin baik, meskipun alat angkut utama mereka sehari hari melalui getek (boat kecil) yang siap hilir mudik ke Ibukota Kuala Simpang semenjak dahulu.
Seiring kemajuan alat transportasi makin merajai masuk desa, maka hasil bumi dari Bangkelang dengan mudah kini dapat dipasarkan ke kota kota kecamatan sekitarnya dan ibukota Kabupaten sendiri. Untuk meralisir Taman Agrowisata tadi sesungguhnya apabila digandeng kedua perusahaan perkebunan yakni PT Seumadam dan PTPN 1 sebagai bapak angkat dimana kawasan HGU kedua perusahaan tadi berada, dengan sumber dana CSR mereka bisa cepat terwujud. Kemampuan management perusahaan tentu akan beda dengan kemampuan dimiliki oleh warga setempat. Hal ini akan terpulang kepada pendekatan Datuk Bangkelang bersama aparatur Gampong dalam menjalin hubungan kerja sama dimaksud. Program kerja sama sebagai “bapak angkat” sudah menjadi kewajiban pihak perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial di sekitar lahan bisnis usaha mereka, sejak era Presiden RI Soeharto hingga sekarang masih berlaku menurut ketentuan resmi Pemerintah.
GAMPONG WISATA BUDAYA
Dalam dua tahun belakangan ini, setelah dua LSM lokal masuk ke Gampong Bengkelang yakni YMKL Langsa dan YRBI Banda Aceh, semakin banyak potensi gampong tergali menuju kemandirian gampong sebagaimana dicita- citakan warganya. Kesadaran warga, terutama di kalangan pemuda warga Gampong setempat makin peduli terhadap potensi desanya. Bersama-sama Tim YRBI dan YMKL secara swadaya turun melakukan pemetaaan gampong saling bergandengan tangan hingga sama-sama sempat menginap di hutan ketika melaksanakan pengukuran batas-batas wilayah perkampungan dengan Gampong tetangga. Ini patut diacungkan jempol menjadi sebuah kerja sama yang baik ke depan dalam merintis program program perberdayaan tahap berikutnya.
Ada potensi lain amat membanggakan milik warga setempat yakni kelak bisa dijadikan Gampong Budaya Bengkelang . Obyek wisata alam berupa sumber air alami (pegunungan), Kebun Buah, Adat Istiadat budaya masyarakat setempat, kuliner dan kesenian Gayo menjadi daya tarik yang dapat ditata dan dipromosi ke luar Aceh Tamiang bahkan ke seluruh penjuru tanah air. Lagenda Raja Pati dan Raja Teming perlu digali menjadi serimonial cerita dan kesenian rakyat, Jika perlu dibuat rumah Adat Gayo – Tamiang, menjadi simbol budaya etnis Gayo yang sudah menetap secara turun temurun di Gampong Bengkelang, seperti halnya masyarakat Gayo di Lokop Kabupaten Aceh Timur.
Hal lain yang membanggakan, sikap masyarakat secara ketat menjaga hutan lindung disekitar hutan perkampungan Bengkelang, sehingga plasma nutfah di sekitar hutan terjaga dengan baik dan diameter pohon-pohon tumbuh di kawasan hutan tersebut rata-rata di atas seratus (100) cm. Perlakuan seperti ini dimaksudkan juga oleh warga setempat guna melindungi sebuah makam kuno. Seorang Aulia Allah Teungku Imuem Cogeh yang sering diziarahi oleh warga Bengkelang, Gampong Suka Makmur, Gampong Pengidam dan Gampong Mendulang untuk berdoa dan zikir di makam yang dikeramatkan tersebut
Prasana dan sarana disediakan Pemerintah di Gampong Bengkelang masih tergolong minim, yakni sebuah Gedung sekolah SD, sebuah Pusat Pembantu Puskesmas Gampong, dan bangunan Kantor Datuk (Geusyik), selain Meunasah. Belakangan tata kelola Pemerintahan Gampong sudah mulai ditertibkan, terutama sejak hadirnya dua LSM yang mendampingi warga setempat untuk program pemetaan gampong secara partisipatif dan pelistaian hutan di sekitar Kecaamatan Bandar Pusaka, khususnya di Bengkelang dan Gampong Sulum yang berwatas langsung dengan Kabupaten Aceh Timur.
Sebagai salah satu warisan kerajaan tua di Aceh, Kabupaten Aceh Tamiang dalam peta nasional dunia Melayu, amat dimungkinkan bertumpu pada pembangunan sektor budaya selain dari sektor pertambangan, perkebunan/pertanian dan sektor industri agro serta perdagangan. Suku etnis mendiami bumi Tamiang ini lebih didominasi oleh etnis Melayu Tamiang dibarengi etnis Gayo Tamiang, etnis Cina, Jawa, Aceh Pesisir, Minang, Karo dan beberapa etnis lainnya, sesungguhnya harus bangkit memberi warna corak budaya yang pantas tampil di panggung nasional. Lihat alm aktor tahun 1980an, Nizar Zulmi putra Seruway, Khairil Anwar dan Penyair Amir Hamzah putra pulau Kampai-Tanjung Pura Langkat dan konon kabarnya Usmar
Ismail penggagas Perfilman Nasional Indonesia di tahun 1950-an serta pemusik kebangsaan Indoensia di masa penjajahan Belanda dan Jepang Ismail Marzuki juga berasal dari keturunan Melayu Tamiang merantau ke Jakarta mengikuti kedua orang tuanya menempuh pendidikan disana dan terus berkaya di Ibokota RI itu.
Kekayaan budaya Melayu Tamiang cukup beragam, mulai dari bentuk tari- tarian, pakaian adat, tradisi berpantun, musik/rabana dan japin, pencak silat, kuliner, aneka anyaman/bordiran hingga ke adat istiadat perkawinan, kematian, turun tanah bayi dan suat rasul. Segenap acara ini semuanya dimeriahkan secara keleluargaan dan ritual Gampong. Ini menandakan patut ditunjukan kapada dunia luar, dipertontonkan menjadi sarana media wisata budaya setempat.
Beberapa agenda kegiatan telah dicapai setelah hadirnya program pendampingan masyarakat oleh dua LSM untuk penguatan kapasitas sosial budaya dan perlindungan pelestarian alam, mulai terlihat hasilnya. Antara lain sebagian besar warga terutama di kalangan pemuda timbulnya kesadaran akan aset kekayaan potensi Gampong yang dimiliki saat ini, guna dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan kehidupan mereka. Misalnya aset tanah wakaf kampung dinventariisir dan dimanfatkan menjadi aset produktif. Lahan bekas HGU yang terlantar diperjuangkan menjadi asset desa dan berhak digarap oleh warga.
Sementara dari hasil pemetaan partisipatif yang digerakkan YRBI bersama YMKL, sudah mereka tetapkan bersama peta batas wilayah, peta tata guna lahan, peta pemukiman penduduk, peta topografi Gampong, penamaan lokasi masing-masing tata batas, Seperti Alur Sangka Pane, Alur Batu Tiga (Alur Tulu), Simpang Gampong Melidi, Bukit Awan (Kampong Sulum), Gunung Singgah Mata , Alur Titi 77, Alur Napal, Alur Codangan, Alur Sarlas, Rime dan beberapa lainya yang kelak menjadi patokan pengenalan wilayah dan penamaan lokasi bagi generasi muda kelak oleh warga setempat.
Pendampingan masyarakat dilakukan oleh kedua LSM lokal ini dalam dua taun belakangan ini , secara nyata sudah membuahkan hasil. Terlepas ada pihak lembaga lain yang sudah duluan melakukan hal yang sama tidak sesuai dengan harapan masyarakat, bahkan nihil hasilnya. Meskipun inisiasi program ini datangnya dari Pemerintahan atasan yakni pihak Kecamatan.
Menindak lanjuti beberapa kesepakatan dalam kesempatan pedampingan dua tahun kemarin, oleh masyarakat amat diharapkan menyusun “Resam/peraturan Gampong”. Guna semakin jelas tata kelola Pemerintahan Gampong yang lebih mencerminkan berpihak kepada peningkatan kesadaran sosial dan adat budaya merujuk kepada hukum adat yang berlaku di Aceh. Semoga !