Sebuah Pengalaman1 Oleh: Sanusi M. Syarif2

Tuah meubagi – bagi Raseuki meujeumba-jeumba3

Pengelolaan Kawasan Hutan oleh Mukim

Latar Belakang

Mukim berkembang di Aceh sejalan dengan berkembangnya Kesultanan Aceh Darussalam pada pada abad 16. Pada mulanya, sistem mukim berkembang di kawasan Pesisir Aceh, meliputi sebagian besar kawasan pesisir Aceh, kecuali di wilayah Singkil, Gayo, Alas dan Tamiang. Dalam perkembangannya kemudian pada tahun 1976 konsep “mukim” dipraktekkan di seluruh Aceh.

Malangnya, tiga tahun kemudian (1979) Pemerintah Pusat di Jakarta memansuhkan sistem mukim melalui pemberlakuan Undang-Undang (UU) nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan demikian, tamatlah keberadaan lembaga mukim secara resmi di seluruh Aceh. Walaupun demikian, masyarakat Aceh tetap mempertahankan keberadaan lembaga mukim, hanya saja kewibawaan dan perannya merosot tajam.

Akibatnya, kekuasaan dan peranan mukim bergeser dari pemegang peran “utama” menjadi pemegang peran “pinggiran”. Mukim kemudian hanya mengurus penyelesaian perselisihan (itupun di sebagian mukim), mengurus pengaturan musem meugo (musim turun ke sawah) dan tentu saja menghadiri acara seremonial tingkat kecamatan atas undangan camat. Mukim kehilangan kuasa untuk melindungi hak-hak warga atas sumber daya alam (termasuk hutan), dan kehilangan kewibawaan untuk menegur para keuchik yang merugikan kepentingan warganya.

Mukim: Di Tengah Koflik Pertanahan di Aceh.

Menurut kajian penulis, UU nomor 5 tahun 1979 bukan merupakan satu-satunya sebab dari makin lemah dan tergusurnya peran mukim di Aceh. UU nomor 5/1979 tersebut memang dapat diibaratkan sebagai pukulan terakhir yang mematikan untuk mengakhiri selama-lamanya keberadaan mukim secara resmi di Aceh. Masih banyak sebab lain, yang secara berangsur-angsur memangkas kewibawaan (otoritas) mukim atas sumber daya alam dan sumber daya sosial.4

Penyebab tersebut antara lain: adanya kebijakan penstrukturan kembali (teritoriality) kuasa mukim ke atas kawasan hutan pada masa kolonial Belanda, diteruskannya kebijakan kolonial tersebut oleh pemerintah Indonesia, terjadinya perubahan struktur pemerintahan pasca terbentuknya negara Indonesia, terjadinya pergolakan politik di Aceh, lahirnya sejumlah UU yang menafikan (mengabaikan) hak-hak mukim/gampong atas sumber daya alam dan adanya kebijakan pembangunan yang membuka ruang kepada hubungan langsung antara gampong dengan pihak atasan (camat) tanpa melalui mukim.

Selanjutnya, dengan memperhatikan rangkaian UU yang diberlakukan sejak Orde Lama hingga masa Orde Baru, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa “negara” secara langsung atau tidak langsung telah memutus hubungan mukim dengan gampong, sumber daya alam dan sumber daya sosialnya secara bertahap. Dimulai dengan UU nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, kemudian diikuti dengan Melalui UU no 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, serta berbagai UU lainnya.

Akibatnya, secara perlahan terjadilah berbagai perubahan di lapangan, yang mengarah kepada pengurangan kewibawaan mukim dalam melindungi hak-hak warganya, mengontrol wilayah dan sumber daya alam setempat. Perubahan yang paling awal adalah pudarnya peranan mukim dalam mengendalikan pihak luar yang menggarap kawasan hutan (gle mukim). Sebagai contoh adalah di kawasan Mukim Lamteuba, Lam kabeu, Lam Leu Ot dan Samahani.

Selain itu, berikut ini ada beberapa contoh kasus yang menunjukkan betapa mukim tidak dapat berperan sebagaimana mestinya dalam melindungi hak-hak warganya ke atas kawasan hutan :

  • Kasus penyerobotan tanah milik masyarakat dan tanah mukim di Aceh Besar oleh PT. Indonusa Indrapuri, Pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Kasus tersebut diantaranya terjadi di Mukim Lamteuba, Mukim Leupueng XXVI, Mpe Ara, dan Gunong Biram (1993).
  • Kasus penyerobotan lahan milik warga Pante Rakyat (Mukim Babahrot), Kuala Batee oleh PT Cemerlang Abadi (1990-an).
  • Masyarakat Kampung Bak Sukon dengan agent pembangunan komplek perumahan pensiunan dan dengan PT. Giri Wara Sapta Bakti/ PT. Pupuk Aceh Sumatra (akhir 1980-an dan 1993). Kasus ini kemudian dimenangkan oleh masyarakat melalui pendekatan adat.

Kelembagaan Mukim dalam pengelolaan hutan adat di Aceh

Dalam perspektif adat, kawasan gle dan hutan rimba merupakan kawasan pemanfaatan bersama bagi warga mukim setempat dan pengaturannya berada di bawah lembaga mukim. Praktek seperti ini sangat menonjol di Aceh Rayeuk dan masih berlangsung hingga akhir tahun 1970-an. Bahkan di sebagian daerah di Aceh, peranan mukim dalam pengelolaan kawasan hutan (baca: gle/pegunungan) masih wujud hingga sekarang.

Berdasarkan literature dan juga informasi dari tokoh masyarakat di lapangan, hubungan mukim/gampong dengan kawasan hutan pada masa dahulu dapat digambarkan antara lain sebagai berikut :5

  • Hutan sumber kehidupan bagi warga mukim setempat.
  • Mukim dan gampong berhak atas wase gle, sebesar 10 persen dari setiap hasil hutan yang dikumpulkan. Wase gle tersebut merupakan sumber pembiayaan untuk keperluan pembangunan mukim dan insentif bagi pengurusnya.
  • Hutan rimba berada dalam kawalan mukim.
  • Pengaturan tata kelola kawasan hutan berbasis mukim dan bukan berbasis gampong.
  • Pemanfaatan kawasan hutan diperuntukkan terutama bagi kesejahteraan warga mukim setempat.
  • Aturan mukim pada dasarnya berhubungan dengan perlindungan sumber-sumber kehidupan bagi warga dan masyarakat sekitarnya. Baik perlindungan terhadap sumber ekonomi maupun sumber ekologi.
  • Peralihan hak atas tanah yang dibuka di kawasan hutan mestilah atas sepengetahuan (izin) mukim, dengan catatan hak-hak si penggarap tanah telah terpenuhi secara adat.

Apa Yang Dapat Kita Petik Dari Pengalaman Yang Ada?

Jejak-jejak pengelolaan hutan oleh mukim masih terdapat di sejumlah kawasan di Aceh, khususnya dalam bentuk kearifan local dalam pengelolaan kawasan hutan, termasuk hak warga mukim untuk pemenuhan keperluan akan kayu untuk keperluan bangunan umum atau rumah warga setempat. Sebagai contoh, pengalaman dari Mukim Mukim Lamteuba dan Mukim Lam Leu Ot Aceh Besar.

Di Mukim Lamteuba misalnya, kebiasaan untuk melindungi kayee uno (kayu tempat lebah bersarang) masih tetap berlangsung hingga hari ini, walaupun sempat terganggu ketika maraknya illegal logging pada 2005-2007 yang lalu. Sayangnya, mukim Lamteuba belum mendapatkan penghargaan yang memadai dari para pengumpul madu lebah, khususnya dari luar mukim. Hal ini dikarenakan belum adanya upaya untuk memberlakukan kembali secara resmi adat tentang wase gle sebesar 10 persen dari hasil yang diperoleh.

Selain itu, lemahnya penegakan adat terhadap para pelanggar, membuat adat yang berkaitan dengan perlindungan kayee uno lama kelamaan menjadi pudar dan dilupakan masyarakat (Pawang Muhammad Ali 2008).

Contoh lain adalah di Gampong Bak Sukon – Mukim Lam Leu Ot. Keuchik Gampong Bak Sukon pada awal 1990-an mempunyai pemahaman yang sangat memadai tentang hak gampongnya atas kawasan hutan setempat, yang nota benenya berada di dalam garis BW (Bosh Wezen)6 atau secara formal berada di bawah kuasa departemen kehutanan. Namun demikian, berdasarkan adat setempat, mereka berhak untuk menggunakan kayu dalam jumlah terbatas untuk keperluan bangunan umum milik gampong. Atas dasar itu, pada 1992 keuchik Bak Sukon mengeluarkan surat keterangan kepada tukang belah kayu untuk mengolah kayu di kawasan Guha Rimueng sebagai bahan untuk pembuatan balee di kawasan Bukit Cot Lhe Sagoe.

Sebaliknya, pada masa yang sama, kontrol gampong ke atas kawasan hutan rimba yang menjadi hak ulayatnya sangat lemah. Akibatnya, gampong tidak kuasa membendung kegiatan penduduk luar mukim untuk membuka lahan tanpa sepengetahuan atau tanpa izin gampong. Hal itu terjadi terus hingga sekarang.

Dari dua contoh kasus tersebut dapat kita simpulkan bahwa hubungan gampong dengan kawasan hutan yang berada di dalam wilayahnya telah terputus (baca: diputuskan). Akibatnya, gampong tidak dapat bertindak terhadap pihak luar mukim yang melakukan penyerobotan lahan di kawasan hutan yang sebenarnya merupakan hak ulayat mukim mereka. Selain itu, dalam hal ini, seakan-akan mukim tidak mempunyai kewenangan apapun untuk melindungi dan membela kepentingan warga gampong ke atas kawasan hutan.

Dengan demikian terputuslah hubungan mukim dengan gampong dalam urusan kawalan terhadap hutan. Sebaliknya kita menemukan fakta yang tidak jauh berbeda di kawasan Pantai Barat Aceh, khususnya di Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan. Di kedua kawasan tersebut, penduduk gampong berhadapan dengan persoalan HGU (Hak Guna Usaha) untuk perkebunan dan juga HPH (Hak Pengusahaan Hutan) pada masa sebelumnya.

Hambatan struktural dalam tata kelola hutan mukim

Ada tiga isu besar yang sesuai untuk dikemukakan dalam kaitannya dengan hambatan struktural dalam tata kelola hutan mukim, yaitu: Pertama, masih wujudnya struktur wilayah kelola hutan peninggalan Kolonial di Aceh. Sebagai contoh adalah zonasi kawasan hutan di Aceh Besar dengan garis BW-nya. Kedua, adanya kebijakan pemberian HGU dan HTI (dan juga HPH) di masa lalu, yang mengabaikan hak-hak adat masyarakat setempat ke atas kawasan hutan. Ketiga, adanya serangkaian UU yang “merugikan” masyarakat adat.

Ketiga hal tersebut menimbulkan dampak yang berbeda bagi masyarakat setempat. Adanya zonasi kawasan hutan ala “ jalan guda” di Aceh Besar, menyebabkan ada keraguan mukim untuk bertindak. Hal ini bukan disebabkan oleh tidak adanya kuasa adat pada mereka, akan tetapi lebih disebabkan oleh adanya dominasi “kuasa negara” ke atas kawasan hutan yang telah berlangsung puluhan tahun. Akibatnya, generasi imuem mukim terutama pada era di atas 1960-an merasakan kehilangan kewibawaan untuk bertindak mengatur pemanfaatan dan melindungi kawasan hutan.

Dampak lain adalah semakin leluasanya penduduk luar mukim untuk menjarah hutan (baca: Kayu) dan tanah ulayat mukim tanpa penolakan atau dengan sedikit perlawanan yang tidak berarti dari warga mukim setempat.

Sebaliknya, di kawasan-kawasan yang menjadi konsentrasi konsesi HGU dan HTI, terjadi konflik pertanahan secara terbuka antara masyarakat dan pemegang konsesi (pengusaha). Akibatnya, masyarakat terdesak ke pinggir dan tidak mempunyai pilihan lain, selain membuka kawasan hutan yang tidak layak untuk kegiatan budidaya, karena memiliki kemiringan yang tinggi.

Pembangunan Kapasitas lembaga mukim

Pembangunan kapasitas lembaga mukim haruslah bersifat menyeluruh dan tidak dapat dilakukan secara terpisah-terpisah. Oleh sebab itu penguatan kapasitas lembaga mukim paling kurang harus dimulai secara bertahap, antara lain melalui :

  • Menjadikan syarat-syarat adat untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam syarat-syarat formal dalam pemilihan pimpinan mukim.
  • Melakukan orientasi kepada imuem mukim tentang keberadaan, kedudukan, kewibawaan, tanggung jawab dan peran mukim.
  • Mengidentifikasi kembali wilayah mukim melalui pemetaan wilayah mukim dan kajian bersama.
  • Membangun perencanaan bersama pada tingkat mukim.
  • Pengembangan konsolidasi Mukim.
  • Pendampingan.

————————————————

  1. Diadaptasi dari Makalah untuk Lokakarya “Membangun Kesepahaman dan Strategi Dalam Mewujudkan Pengakuan dan Pengelolaan Hutan Mukim” di Hotel Oasis pada 12 Agustus 2009 dan dilaksanakan bersama oleh FFI Aceh Program, Green Aceh Institute, JKMA Aceh, Yayasan Rumpun Bambu, Serikat Mukim Aceh Jaya dan Majelis Duek Pakat Mukim Aceh Besar. ↩︎
  2. Penulis Alumni International Fellowship Program, Ketua pelaksana Yayasan Rumpun Bambu dan Staf Majelis Adat Aceh (MAA) ↩︎
  3. Setiap orang mempunyai tuah (nasib baik) dan rezekinya masing-masing ↩︎
  4. Sanusi M. Syarif. 2008. Pengurusan Sumber Alam Berasaskan Komuniti di Aceh: Kajian Kes di Mukim Lam Leu Ot. Tesis. Bangi. Universiti Kebangsaan Malaysia. ↩︎
  5. H.M. Zainudin (1961), Teungku Husen (2008), Apa Neh (2007) dan Tgk. Muhammad Ali (2006). ↩︎
  6. BW, Bosch wezen, merupakan tanda batas yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, untuk membatasi ruang kelola rakyat di Aceh. Pada masa itu, tanda BW hanya sempat dibuat di kawasan Aceh Rayeuk dan Aceh Tenggara. Penduduk Aceh Rayeuk menamakan tanda batas tersebut dengan “jalan kaphe” (jalan kafir) atau “jalan guda” (jalan kuda). Penamaan jalan guda karena pada masa itu dilakukan patrol berkuda untuk mengawal kawasan tersebut. ↩︎

Referensi

-. Apha Neh. 2007. Pengelolaan kawasan di kampung Bak Sukon. Kampung Keumireu. Wawancara, 8 Maret.
-. Pawang Muhammad Ali. 2008. Pengelolaan bak kayee uno di Hutan Seulawah. Wawacara pribadi 28 Maret.
-. Sanusi M. Syarif. 2008. Pengurusan Sumber Alam Berasaskan Komuniti di Aceh: Kajian Kes diMukim Lam Leu Ot. Tesis. Bangi. Universiti Kebangsaan Malaysia.
-. Sanusi M. Syarif. 2008. Pengalaman Bersama di Mukim Lampanah Leungah: Belajar Dari Lembah Seulawah. Banda Aceh. Pustaka Rumpun Bambu.
-. Teungku Husen. 2008. Sejarah Mukim Lampanah Leungah. Wawancara 30 Mei 2008.
-. Tgk. Muhammad Ali. 2006. Pengurusan kawasan padang ragut dan hutan-rimba di Kampung Bak Sukon. Kampung Bak Sukon. Wawancara, 5 Mei.
-. Tgk. Mukhtar Jamal. 2008. Sejarah Mukim Lamteuba. Catatan tulisan tangan.
-. Zainuddin, H. M. 1961. Tarich Atjeh dan nusantara. Medan: Penerbit Pustaka Iskandar Muda.