Sanusi M. Syarif – Peneliti Mukim dan Gampong

Mukim atau kemukiman?

Sudah sepuluh tahun waktu berlalu, terhitung sejak disahkannya Qanun Provinsi Aceh nomor 4 tahun 2003 tentang Mukim, sebagai tindak lanjut dari lahirnya Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 dan Undang-Undang nomor 18 tahun 2003. Namun hingga saat ini belum terjadi perubahan sebagaimana semestinya, khususnya dalam upaya penguatan kelembagaan mukim. Sebagaimana diamanahkan oleh peraturan perundangan. Selain itu, penulisan istilah “mukim” juga belum sesuai dengan amanah Undang-Undang dan juga latar sejarah lahirnya lembaga mukim. Akibatnya, penggunaan sebutan “kemukiman” untuk menunjukkan wilayah dan lembaga mukim begitu meluas, tanpa ada upaya untuk meluruskannya. Baik dalam pembicaraan sehari-hari, atau dalam kop surat resmi. Penggunakan sebutan “Kemukiman” secara latah juga diikuti oleh berbagai media cetak di Aceh dan sebagian aktivis LSM.

Pada saat ini, mukim-mukim di sebagian besar kabupaten/ Kota di Aceh masih menggunakan sebutan “Kemukiman” dalam kop suratnya. Seperti di Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Tamiang, Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan dan Aceh Singkil. Berdasarkan data pada penulis, baru mukim-mukim di Aceh Besar dan Aceh Jaya yang telah menggunakan kata mukim dalam kop surat resmi. Walaupun demikian, masih ada juga mukim di Aceh Besar dan Aceh Jaya yang menggunakan “kemukiman” di kop surat resmi.

Padahal, dalam qanun mukim, baik Qanun Aceh nomor 4 tahun 2003 (telah dicabut), maupun dalam qanun mukim kabupaten, seperti Qanun Mukim Aceh Besar (2009), Bener Meriah (2009), Simeulu (2010), Aceh Tamiang (2010), Aceh Utara (2011), secara tegas tercantum istilah mukim beserta pengertiannya.

Dalam qanun kabupaten/ kota tersebut, mukim didefinisikan dalam pengertian yang serupa, sebagai berikut: Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong/kampung/desa yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim/ Kepala Mukim dan berkedudukan langsung di bawah Camat. Namun tidak satu poin pun yang menjelaskan makna kata “kemukiman”. Walaupun dalam qanun kabupaten tersebut terdapat beberapa kata “kemukiman”.

Khusus Qanun Mukim Kota Sabang dalam pasal 1 Ketentuan umum poin 21 dicantumkan pengertian “kemukiman” sebagai wilayah kerja mukim yang membawahi beberapa gampong. Pengertian ini pun sebenarnya tidak diperlukan, karena dalam kata “mukim” sudah melekat pengertian wilayah, sekaligus lembaga. Begitu pula halnya untuk kata “gampong”, di dalamnya sudah mengandung pengertian lembaga dan pengertian wilayah. Tentu janggal rasanya kalau untuk wilayah kerja gampong/ kampung disebut dengan “kegampongan” atau “kekampungan”.

Sejarah Mukim

Istilah, “Mukim” berasal dari bahasa Arab “muqim” yang berarti tempat tinggal (Zakaria Ahmad 1972). “Muqimun” pula berarti “penduduk yang menetap di suatu tempat” (Kamus Dewan 2002). Dalam konteks agama Islam, istilah “muqim” digunakan untuk menerangkan “status” tinggal menetap bagi seseorang untuk membedakannya dengan orang yang berada dalam perjalanan (musafir). Kepada orang-orang yang mukim atau bermukim (tinggal menetap) di suatu kawasan, kepadanya diwajibkan untuk melaksanakan Shalat Jum’at. Berbeda halnya untuk orang yang sedang dalam perjalanan (bermusafir), mereka tidak diwajibkan untuk menegakkan Shalat Jum’at. Merujuk uraian di atas, warga mukim” diartikan sebagai penduduk dari sebuah mukim. Mukim juga merupakan kawasan tempat tinggal yang dipimpin seorang imuem atau imam. Kata “imuem” berasal dari bahasa Arab yang berarti “orang yang harus diikuti” atau pemimpin (Zakaria Ahmad 1972: 88).

Dalam perkembangannya kemudian, istilah Mukim di Aceh mengalami penukaran makna dari arti yang sebenarnya. Istilah Mukim kemudian menjadi sebuah konsep untuk menerangkan ruang fisik dari sesuatu kawasan yang terdiri dari beberapa Gampong yang memiliki satu mesjid bersama. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah “Mukim” adakalanya merujuk kepada seseorang yang sedang menjabat sebagai pemimpin Mukim. Dalam hal ini, biasanya digunakan dalam percakapan harian (Sanusi 2008). Sebagai contoh: “Mukim hana di rumoh”, maksudnya imuem mukim tidak ada di rumah.

Pada masa-masa awal pembentukan mukim, pada setiap hari Jum‟at, Imuem Mukim juga bertindak sebagai imam Shalat Jum’at (Ibrahim Alfian et al. 1977/1978: 66). Menurut catatan Van Langen (dalam Ibrahim Alfian et al. 1977/1978: 66), pada mulanya, tiap-tiap Mukim ditetapkan mesti berpenduduk 1000 orang laki-laki yang boleh memegang senjata. Hal ini lebih bertujuan untuk kepentingan politik, sehingga Mukim selain bersifat teokratik juga bersifat politik. Penegasan jumlah penduduk yang dapat memegang senjata nampaknya berkaitan dengan kedudukan Imuem Mukim sebagai pemimpin pasukan (uleebalang) di wilayahnya (Sanusi 2008). Penegasan Van Langen tersebut, sejauh ini belum penulis temukan dalam sumber-sumber asli Aceh, seperti dalam Kanun Syara’ Kesultanan Aceh, atau dalam hikayat dan kitab-kitab karya penulis Aceh pada masa sebelum kolonial.

Penggunaan Istilah Mukim

Istilah Mukim dengan mudah dapat ditemukan dalam buku-buku yang ditulis oleh penulis Eropa pada abad ke 19. Seperti dalam buku Sejarah Sumatra karya William Marsden yang terbit tahun 1873 dan buku karya Snouck Hugronje, De Atjeher, yang terbit tahun 1893. Dalam kedua buku tersebut tidak diketemukan satu pun kata “kemukiman”.

Istilah mukim juga terdapat dalam tulisan yang lebih tua, yaitu dalam Hikayat Pocut Muhammad, karya Teungku Lam Rukam. Hikayat ini ditulis pada pertengahan abad ke 18, tidak lama setelah berakhirnya perang saudara di Aceh yang digerakkan oleh Pocut Muhammad. Perang tersebut dalam rangka mengukuhkan kedudukan abangnya Pocut Ue sebagai Sultan Aceh dari rongrongan Jamalul Alam, mantan Sultan Aceh yang telah dimakzulkan pada masa sebelum ayah Pocut Muhammad, menjadi Sultan Aceh (Sultan Alauddin Ahmad Syah, 1727-1735).

Dalam hikayat ini disebutkan bahwa Pocut Muhammad memerintahkan pengikut setianya untuk memanggil para panglima dari berbagai tempat, antara lain dari Mukim Peuet (Mukim IV, pen). Kemudian dalam longmarch (perjalanan panjang) ke Pantai Timur Aceh, dikisahkan bahwa Pocut Muhammad singgah di Mukim Lhee, Mukim Tujoh dan Mukim Limong di kawasan Pidie untuk menggalang pengikut. Namun dalam hikayat inipun tidak ditemukan kata “kemukiman”.

Selanjutnya, dalam Qanun Syara’ Kesultanan Aceh, atau disebut juga dengan Qanun Al Asyi, yang ditulis ulang oleh Teungku Di Mulek dalam Kitab Tazkirah Tabakah pada 1270 hijriah (sekitar 1864 M), dengan jelas sekali disebutkan istilah “mukim” sebagai lembaga yang membawahi gampong-gampong. Qanun ini memuat dasar-dasar pentadbiran (pemerintahan) di Aceh. Berikut kutipan ini Qanun tersebut: “Maka tiap-tiap satu mukim[,] ada yang lima meunasah [,] dan ada yang tujuh meunasah[,] dan ada yang delapan meunasah [,] dan sekurang-kurangnya tiga meunasah menurut, ‘uruf tempatnya masing-masing” (Abdullah Sani 2005). Yang dimaksudkan dengan “meunasah” dalam Qanun tersebut adalah gampong atau kampung masa masa sekarang. Penggunaan kata meunasah untuk maksud yang sama dengan gampong, masih dapat kita temui pada masa sekarang di beberapa daerah di Aceh, seperti di Aceh Utara.

Dengan demikian, dari sisi sejarah asal usulnya, jelas sekali penggunaan istilah “kemukiman” tidak punya dasar yang kuat. Kemudian jika merujuk kepada peraturan perundangan, mulai dari Peraturan Daerah yang diterbitkan pada tahun 1996, tahun 2000, hingga Qanun Aceh tentang Mukim tahun 2003, Qanun nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan adat dan adat istiadat, serta Qanun nomor 10 tahun 2008 tentang lembaga adat, semuanya menggunakan “mukim” sebagai istilah resmi disertai dengan pengertiannya, bukan istilah “kemukiman”. Demikian pula halnya dengan qanun mukim tingkat kabupaten/ kota yang dikeluarkan dalam lima tahun terakhir.

Dengan demikian, dasar sejarah dan dasar hukum apa yang digunakan sehingga dalam kop surat mukim di berbagai daerah di Aceh masih menggunakan kata “kemukiman?”.

Sumber Kekeliruan penulisan

Menurut perkiraan penulis, penggunaan/ penulisan sebutan “kemukiman” untuk wilayah dan lembaga mukim, kemungkinan besar terpengaruh oleh pola penulisan yang menggunakan awalan “ke” dan akhiran “an” dalam Bahasa Indonesia. Khususnya dalam pola pengembangan sebutan jabatan dan wilayah yang jadi lingkup jabatannya. Sebagai contoh, “Sultan” sebagai pemimpin dari suatu negeri/ atau kerajaan. Untuk wilayah kuasa dari sultan tinggal ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” pada kata “sultan”, sehingga menjadi Ke-sultan-an.

Contoh lain: pada masa sebelum kolonial, di Jawa Barat, di bawah Bupati (adipati) terdapat pegawai-pegawai yang diberi tugas untuk memungut pajak. Daerah penarikan pajak yang meliputi beberapa desa dikepalai oleh seorang pegawai yang dinamakan “camat”. Beberapa camat dikepalai oleh seorang yang dinamakan “cutak”. (Soetardjo 1984: 381)”. Wilayah tugas dari seorang camat di Jawa Barat tersebut kemudian menjadi cikal bakal sebutan kecamatan.

“Daerah-daerah penarikan pajak itu kemudian dijadikan daerah pemerintahan dan diberi nama sesuai dengan daerah-daerah pemerintahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu distrik (setara kabupaten sekarang) dan onderdistrik (setara kecamatan), berturut-turut dikepalai oleh wedana dan asisten wedana. “Setelah berakhirnya era penjajahan atau pada masa-masa awal terbentuknya Negara Indonesia, nama pangkat asisten wedana tidak lagi disukai orang. Oleh karena itu, sebutan asisten wedana diganti dengan sebutan camat. Perkataan “wedana” atau “wedono” merupakan bahasa Jawa tinggi (kromo-inggi), artinya muka. Jadi pangkat wedono artinya pemuka (Soetardjo 1984: 382-382)”. Wilayah kuasa wedana biasanya disebut dengan kewedanaan (setingkat kabupaten pada masa sekarang).

Selanjutnya, pada masa dahulu juga dikenal jabatan “adipati”. Wilayah kuasa dari seorang “adipati” disebut “kadipaten”. Adipati merupakan sebuah gelar kebangsawanan untuk orang yang menjabat sebagai kepala wilayah yang tunduk pada struktur pemerintahan kerajaan. Gelar adipati digunakan secara meluas di Pulau Jawa. Selain itu juga terdapat di Kalimantan. Istilah atau gelar jabatan adipati dan kadipaten kemudian diadopsi dalam sistem pemerintahan Indonesia menjadi bupati dan kabupaten. Walaupun sebenarnya, Adipati berbeda dengan bupati terutama dilihat dari kepentingan wilayah, luas wilayah, dan alasan strategi politik. Adipati dianggap memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada bupati. Suatu kadipaten dapat memiliki beberapa kabupaten (Wikipedia 2013).

Jika merujuk kepada pola tersebut, sebenarnya penggunaan istilah “kemukiman” juga tidak sesuai digunakan dalam konteks mukim. Karena sesungguhnya istilah mukim, bukan merujuk kepada gelar atau nama jabatan. Akan tetapi merupakan sebutan untuk sebuah wilayah, sekaligus sebagai lembaga. Sedangkan pemimpin dari sebuah wilayah mukim disebut dengan imuem mukim atau imeum mukim. Selain itu, kalau pola penyebutan “mukim menjadi kemukiman” diterapkan pada gampong, maka “gampong akan menjadi kegampongan”. Pola ini tentu saja janggal rasanya.

Penutup

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, sudah pada tempatnya pemerintah kabupaten/kota meninjau/ memperbaiki kembali penggunaan sebutan “kemukiman” dalam kop surat dan menggantinya dengan sebutan “mukim”. Agar kekeliruan penulisan sebutan mukim tidak terus berlanjut. Selanjutnya, agar perbaikan sebutan mukim di kop surat berjalan secara tepat, sangat diperlukan peran aktif dari pemerintah kabupaten/ kota, khususnya dari Bagian Bidang Tata Pemerintahan Mukim dan Gampong.

Referensi:
-> Abdullah Sani. 2005. Nilai sastera kenegaraan dan undang-undang dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
-> Hugronje, Snouck. 1985. Aceh di mata kolonialis. Jilid I. Terj. Singarimbun, Ng., Maimoen,S & Kustiniyati Muchtar. Jakarta: Yayasan Soko Guru.
-> Ibrahim Alfian, T; Muhammad Ibrahim; Arifin, M; Nasruddin Sulaiman; Rusdi Sufi; Zakaria Ahmad & Hasan Mua’arif Ambary. 1977/1978. Sejarah daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Projek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
-> Marsden, William. 1811. History of Sumatra. London
-> Sanusi M. Syarif. 2008. Peran Mukim Dalam Pengurusan Sumber Alam Berasaskan Komuniti di Aceh, Sumatra: Kes di Mukim Lam Leu Ot. Bangi, Universiti Kebangsaan Malaysia.
-> Teungku Lam Rukam. 1981. Hikayat Po Cut Muhammad. Transliterasi Ramli Harun. Jakarta: Projek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
-> Zakaria Ahmad. 1972. Sekitar keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675. Medan: Monora.