Oleh Sanusi M. Syarif
Meninjau Kembali: Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat
Pendahuluan
Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat (PSABM), atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Community Base Natural Resources Management (CBNRM), sebenarnya bukanlah hal baru. Artinya, sistem tersebut telah ada jauh sebelum konsep PSABM/CBNRM dipopulerkan.
Bukti dari adanya sistem PSABM pada masa sebelumnya adalah praktek pengelolaan sumber daya oleh berbagai masyarakat adat di dunia.
Tulisan ini membahas secara ringkas beberapa hal yang berkaitan dengan PSABM, dengan memberikan tumpuan kepada praktek PSABM dalam masyarakat Aceh.
Kata Kunci
- Pengelolaan
- Sumber Daya (Alam dan manusia)
- Basis, asas, dasar
- Masyarakat
Sumber
Sumber (resources) merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi keperluan manusia. Dalam kehidupan seharian, istilah sumber dapat dibahagi kepada sumber alam dan sumber manusia. Sumber alam merupakan sumber yang berasal daripada alam semula jadi (dikenali sebagai sumber asli). Sesuatu akan menjadi sumber apabila manusia mengenalinya sebagai benda yang berguna untuk memenuhi keperluannya. (Hasan Naziri dalam Abibullah 1999: 2 & 15).
Penamaan Sumber
Secara umum, sumber daya (untuk selanjutnya kita sebut sumber) dapat digolongkan dalam dua bagian, sumber daya manusia dan sumber daya alam. Berdasarkan sifatnya, sumber daya alam dibagi kepada dua golongan, yaitu sumber alam asli (bersifat semula jadi) atau merupakan sumber alam binaan.
1 Disampaikan pada acara Training Staf FFI di Hotel Oasis, Lueng Bata Banda Aceh.
2 Pendiri Yayasan Rumpun Bambu & Staf Majelis Adat Aceh
Sumber alam asli dibagi kepada dua golongan, yaitu sumber alam yang dapat diperbaharui dan sumber alam yang tidak dapat diperbaharui. Contoh sumber alam yang dapat diperbaharui seperti hutan, padang penggembalaan, sungai, laut, paya dan galian. Contoh sumber alam yang tidak dapat diperbaharui emas, besi, tembaga, magnesit dan gas. Sumber alam binaan (bentukan) seperti sawah, kebun dan ladang.
Asas, dasar
Landasan atau dasar yang dijadikan tumpuan atau dasar pijakan bagi sesuatu.
Masyarakat (komuniti, komunitas)
Secara umum masyarakat sering diartikan sebagai kumpulan orang yang tinggal di suatu tempat tertentu (daerah, negara) atau kumpulan individu yang mempunyai sifat-sifat yang serupa (Kamus Dewan 2002: 698).
Menurut Tonnies (dalam Ting 1979: 62) konsep masyarakat (komuniti) dapat dibagi dalam dua bentuk. Pertama masyarakat yang mempunyai hubungan yang berasaskan kepada ikatan kekeluargaan dan ikatan persahabatan yang rapat. Masyarakat seperti ini disebut sebagai gemeinschaft. Interaksi sosial dalam masyarakat gemeinschaft melibatkan hubungan primer yang rapat dan bersemuka (face to face), di mana tradisi dan tujuan yang sama juga wujud.
Kedua masyarakat yang hubungan antara warganya memiliki hubungan sekunder yang lebih kuat. Ikatan sosial lebih bersifat sukarela, contractual dan berdasarkan kepada kepentingan diri sendiri. Dengan demikian gesellschaft merujuk kepada komuniti yang mempunyai hubungan-hubungan yang khas (specific), impersonal dan instrumental dan hubungan-hubungan tersebut hanya melibatkan sebahagian daripada individu di dalam komuniti tersebut.
Dalam konteks Aceh, pada umumnya, masyarakatnya dapat digolongkan kepada kelompok pertama.
Selanjutnya, suatu masyarakat pada umumnya mempunyai tiga unsur utama, yaitu. Pertama, memiliki kawasan bersama (common area), kedua, pertalian atau hubungan bersama dan ketiga, adanya interaksi sosial. Hillery (dalam Syed Husin Ali 1975: 39)
Hubungan Masyarakat dan SDA
Merujuk kepada unsur-unsur yang terdapat dalam suatu masyarakat, nampak jelas suatu masyarakat pasti mempunyai wilayah, ikatan hubungan bersama dan tentu saja interaksi sosial sesama mereka. Dalam hal ini, ikatan hubungan dan pola interaksi sosial antara sesama mereka melahirkan tata cara setempat dalam pemanfaatan wilayah, termasuk sumber daya alam yang terdapat di dalamnya.
Bentuk-Bentuk Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pengelolaan SDA secara umum dapat dikatagorikan ke dalam tiga bentuk/model.
a. Pengelolaan sumber daya oleh negara (Keputusan dan aturannya dibuat oleh negara)
b. Pengelolaan sumber alam oleh swasta atau individu (Keputusan dan aturannya dibuat oleh negara. Syarikat atau individu diberi hak kelola dalam bentuk hak konsesi)
c. Pengelolaan sumber alam oleh masyarakat (tata cara pengurusannya berasaskan kepada adat setempat, bukan kepada aturan kerajaan). Dalam sistem pengurusan ini, setiap keputusan dibuat oleh komuniti setempat dan dikuatkuasakan (disahkan) melalui keputusan lembaga adat.
Pengelolaan bentuk ketiga, kemudian populer disebut PSABM (Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat). Istilah ini sebenarnya diturunkan dari istilah dengan maksud serupa dalam bahasa Inggris, yang disebut dengan CBNRM (Community Base Natural Resources Management).
Dalam hal ini, istilah CBNRM sendiri sebenarnya berkembang (populer) sejalan dengan perkembangan program konservasi dan penguatan masyarakat oleh berbagai NGO di seluruh dunia. Walaupun demikian, jauh sebelum adanya program yang berkaitan dengan CBNRM tersebut, telah berkembang sedemikian rupa tatanan pengelolaan sumber daya alam yang bersumber kepada aturan-aturan/kebiasaan masyarakat setempat.
Sebagai contoh:
a. Pengurusan sumber laut di Maluku yang dilakukan melalui adat sasi (Rahail 1995),
b. Pengelolaan ladang (shifting cultivation) di komuniti Baduy di Banten Selatan (Johan 1992) dan komuniti Dayak di Kalimantan (Lahajir 2001).
c. Pengelolaan sawah dengan sistem subak di Bali
d. Dan Pengelolaan laut, sawah (blang), kebun (lampoh), dan ladang Di Aceh, melalui lembaga-lembaga khusus.
Dengan demikian, pengelolaan sumber alam berasas masyarakat dapat dimaknai sebagai satu norma dan tatacara pengelolaan yang menjadikan aturan/kesepakatan masyarakat sebagai asasnya.
Lembaga Adat Pengelolaan SDA di Aceh
Di Aceh, pengaturan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat diatur pada tingkat mukim dan gampong. Oleh sebab, itu, imuem mukim dan keuchik merupakan koordinator di wilayahnya dalam pembangunan
kesepakatan dan penetapan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan SDA.
Berikut ini adalah beberapa lembaga adat yang berwenang dan berperan dalam pengelaan SDA di Aceh:
a. Keujruen Blang (Ketua sawah). Institusi ini berkuasa untuk menegakkan dan mengawal aturan-aturan tentang kegiatan bersawah serta mengerahkan petani untuk membaiki saluran-saluran air dalam kawasan sawah. Antara tugas-tugas yang dilakukan oleh institusi ini yaitu menjaga keselamatan pintu air dan saliran air serta mengawal ketersediaan air untuk kawasan sawah. Selain itu, juga bertugas menetapkan jadwal turun ke sawah, mengarahkan perintah pengurungan ternak atau ternak tidak dilepaskan bebas di kawasan sawah, mengatur kerjasama petani dalam membersihkan saliran air, mengatur pembahagian air untuk sawah petani, menjadi saksi dalam proses jual-beli tanah sawah, serta menyelesaikan perselisihan antara petani dalam kawasannya.
b. Peutua seuneubok, bertugas mengatur penerokaan kawasan hutan untuk dijadikan sebagai ladang atau kebun, memimpin acara khanduri ladang, menguatkuasakan aturan serta mengurus dan menyelesaikan perselisihan antara warganya. Untuk kawasan belum ada institusi seuneubok, ketua kampung bertanggungjawab dan berperanan langsung langsung proses pengaturan penerokaan tanah (Rusdi Sufi 2002: 31).
c. Peutua Uteun bertugas untuk mengurus kawasan hutannya. Institusi ini disebut juga sebagai Ketua Hutan (peutua uteun). Di daerah Pidie, khasnya pada masa pra kolonial, pengurusan kawasan hutan berada langsung di bawah pentadbiran mukim tempatan yang disebut sebagai keujruen. Sebagai contoh keujruen Peucalang, Keujruen Truseb dan keujruen Beuracan. Peranan ketua hutan antaranya mengumpulkan cukai daripada hasil-hasil hutan seperti rotan, gaharu, kayu, madu lebah dan sebagainya. Besarnya cukai 10 peratus daripada hasil hutan yang diperolehi petani. Institusi ini takluk kepada uleebalang yang memimpin persekutuan mukim. Peranan lain yaitu mengawal keselamatan hutan daripada pencerobohan pihak luar tanpa izin daripada mukim atau kampung, mengawal tegaknya adat tentang pengurusan hutan. Aturan tersebut seperti: larangan menebang pokok yang menjadi sarang lebah madu, atau pokok yang tumbuh di sepanjang pinggiran sungai dan sekitar sumber mata air (Zainuddin 1961: 384). Mengikut adat, hak penduduk mukim atas kawasan hutan yaitu sejauh perjalanan satu hari pergi balik dari kawasan petempatan terluar di mukim tersebut (El Hakimy 1980: 32).
d. Peutua Krueng Kuasa institusi ini antaranya adalah mengatur pengurusan kawasan sungai untuk kegiatan penangkapan ikan, mengurus penyelesaian perselisihan antara nelayan dan mempertahankan hak-hak tradisi atas kawasan sungai (Laporan YRBI 2002).
e. Panglima Laot dipilih daripada kalangan para pawang laut. Institusi ini berkuasa atas suatu kawasan lhok atau teluk (Hugronje 1985: 318). Pada masa dahulu, panglima laut berhubungan langsung dengan uleebalang akan tetapi diluar urusan hukum adat (tatanegara) panglima laut tunduk kepada hukum ketua kampung (Zainuddin 1961: 378). Panglima laut memiliki kuasa dan bertanggung jawab untuk menguatkuasakan serta mempertahankan adat laut, mengatur kegiatan penangkapan ikan di laut dan melaksanakan kegiatan penyelesaian perselisihan (Djuned 2002: 8).
Beberapa Isu penting untuk pengembangan PSABM
a. Pengelolaan pengetahuan dan sharing pengetahuan
b. Pengembangan antara masyarakat lokal (setempat), dengan NGO dan pemerintah.
c. Pengembangan budaya dan kearifan lokal
d. Perlindungan hak-hak masyarakat atas sumber daya alam
e. Keterlibatan stake hulder dan pembagian peran yang jelas
f. Memelihara keberlanjutan dan kesamaan hak masyarakat.
Referensi
◼ Dietz, Ton, (1998). Kontur Geografi Lingkungan Politik: Pengakuan Hak Atas Sumber Daya. Penerbit Pustaka Pelajar, Insist Press dan Remdec.
◼ El Hakimy, T.I. 1980. Tatanan tanah di wilayah pedesaan Aceh: Desa Leupung Aceh Besar. Laporan Penelitian. Banda Aceh.
◼ Hasan Naziri Khalid. 1999. Sumber alam tropika: Suatu gambaran umum. Dlm. Abibullah Hj. Syamsuddin (Pnyt.). Pengurusan sumber alam tropika, hlm. 1-15. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
◼ Kamus Dewan. 2002. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
◼ Rusdi Sufi. 2002. Hukum adat pertanahan:Pola penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah secara adat Aceh tempo dulu dan kini. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
◼ Sanusi M. Syarif. 2001. Menuju Kedaulatan Mukim dan Gampong; RIWANG U SEUNEUBOK. Jakarta. Yappika
◼ Sanusi M. Syarif. 2003. Leun Pukat dan Panglima Laot Dalam Kehidupan Nelayan Aceh
◼ Sanusi M. Syarif. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami”, Pustaka Latin Bogor.
◼ Sanusi Muhammad Syarif. 2008. Pengurusan sumber alam berasaskan komuniti di Aceh, Sumatra: Kajian kes di Mukim Lam Leu Ot. Tesis. Bangi: Universiti kebangsaan Malaysia.
◼ Syed Husin Ali. 1975. Malay peasant sociaty and leadership. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
◼ Zainuddin, H. M. 1961. Tarich Atjeh dan nusantara. Medan: Penerbit Pustaka Iskandar Muda.
Categories: