Oleh : Yoyon Pardianto
Meneropong Ekonomi Masyarakat Adat Kawasan Pinggiran Hutan Aceh Pedalaman
Apa dirasakan oleh masyarakat adat di Bumi Seramoe Mekah saat ini merupakan tindakkan untuk mempertahan ekonomi komunal yang masih mengunakan tanah sebagai prioritas. Tanah merupakan sumber kehidupan utama yang dimiliki masyarakat adat, dengan aset tanah mereka bisa bercocok tanam padi dan tanaman lainnya. Masyarakat adat yang sudah kehilangan identitas dalam menyongsong era globalisasi dari aspek merawat nilai-nilai leluhur dimasa saat ini serta masa akan datang.
Masyarakat adat juga harus mendapatkan akses kemajuan global dan tidak boleh tertingal dari perkembagan zaman. Perkembagan zaman telah mengiring masyarakat adat untuk kembali melakukan apa yang sudah dilakukan oleh leluhurnya di masa lampau. Dampak dari undang-undang atau eraturan pelarangan pembakaran lahan yang berdampak langsung ke masyrakat adat terutama petani yang berada di kawasan pingiran hutan.
Masyarat adat khususnya di Aceh mayoritas menjadikan nasi sebagai bahan pangan utamanya. Pastilah mereka melihat padi sebagai hasil utamanya .sehingga mereka selalu menanam Padi di sekitar kawasan hutan khusus-nya tanaman padi darat.
Masyarakat adat yang berladang menanam padi darat masih memanfaatkan kawasan pinggir hutan untuk mebuka ladang baru.
Lahan yang sudah ditingalkan selama enam bulan mereka membuka kembali sesuai dengan kelender musim tanam yang dimiliki oleh masyarakat adat.
Situasi kawasan yang berada di sekitar hutan juga di perburuk oleh banyaknya perusahan yang menanam sawit hingga kawasan kebun masyarakat pun di ambil oleh perusahaan dan masuk ke dalam HGU Perusahan Kelapa Sawit.
Masyrakat yang berada di kawasan pinggiran hutan, namun tidak memiliki sawah tadah hujan maka akan menerapkan pola tanam padi darat. Penanaman padi dengan pola Padi Darat ini mampu menyediakan sumber makanan untuk mereka. Masyarakat yang tinggal di dalam hutan maupun di pinggiran hutan masih memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dari alam seperti dari sungai dan termasuk juga sumber obat-obatan tradisonal yang bahannya tersedia di hutan.
Alhasil kehilangan kekuatan masyarakat adat dikawasan hutan disebakan karena rendahnya informasi dari generasi ke generasi. Sehingga situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan terhadap kawasan yang berada di sekitar hutan.
Hal ini membuat masyarakat adat kehilangan aspek adat, hokum adat, aturan adat yang seharusnya itu bisa dipertahankan di wilayah masyrakat adat itu sendiri dan yurisdiksi dimana masyarakat adat berada.
Dalam hal ini sikap para pemangku kepentingan masih diam tidak ada pihak yang melakukan tindakan secara kewilayahan adat serta menentukan dengan peta kekuasaan adat dalam satu wilayah yang ada dalam satu kampung.
Masyarakat yang berada di kawasan hutan merupakan masyarakat adat yang hidup dari hasil ladang terutama tanam padi. Namun saat ini masyarakat adat sudah mulai diracuni dengan sektor ekonomi prakmatis dan jenis tanaman yang sangat prakmatis . dan kemudian juga banyak aspek dirugikan, seperti Tanaman sawit, yang banyak mengkosumsi air dan merusak wilayah sumber air masyarakat adat. Perlu di pahami dalam tulisan ini, yakni tentang ekonomi prakmatis, ialah perusahaan yang mendapatkan izin HGU dan membuka perkebunan besar-besaran didalam wilayah kampung di pingir hutan.
Masyarakat adat sudah dilindungi hidupnya di negara yang sudah merdeka namun tidak merdeka dari sisi ekonomi mereka masih di benturkan dengan peraturan serta undang-undang pemerintah yang tidak pro rakyat. Dimana pemerintah hari ini hanya diam dalam melihat gejolak ekonomi masyarakat rentan dan masyarakat adat pada umumnya. Sehingga sejauh ini pemerintah masih menyanjung-nyanjung peraturan yang sama sekali tidak menguntungkan bagi masyarakat adat.
Bagaimanapun masyarakat adat tetap melakukan aktifitas mereka seperti biasa dalam menjalankan perekonomian non hutan dan mengarap tanah yang berada di dataran tinggi, pingiran dan dalam kawasan hutan. Hal ini mereka terpaksa lakukan untuk mendapatkan penghidupan serta kebutuhan rumah tangga lainnya.
Salah satu Dampak yang dirasakan dari semua aturan tersebut ialah perekonomian yang tidak menentu termasuk harga pasar lebih banyak menekankan masyarakat adat. Sehingga hasil panen masyarakat adat berdampak sangat buruk terutama hasil penjualan produksi dari kebun masyarakat adat.
Semenjak adanya peraturan pemerintah, pelarangan sistem bakar seluas bahan kering dikawasan pingir hutan, masyarakat pedalaman hari ini masih melakukan aktifitas menanam Padi Darat, mereka menanam padi per hektar kepala keluarga, masyarakat adat ini juga menanam padi darat dengan melewati proses awal yang panjang sehingga membutuhkan waktu sampai enam bulan hingga tib musim panen.
Adapun Selama proses persiapan penanaman padi darat harus mulai dari rendam bibit , kemudian melakukan Kenduri turun bibit, Kenduri Padi Darat,dan Kenduri menjelang panen. Yang ke semuanya dilakukan secara bertahap berdasarkan ketentuan waktu kebiasaan setempat.
Pola yang diterapkan oleh masyarakat adat di Gampong Sijudo, Bengkelang dan Sulum ini pada dasarnya prosesnya sama, tidak ada bedanya. Perbedaan yang didapatkan hanya dari jadwal memulainya. Biasanya hanya berbeda bulan saja. dalam hal ini mereka masih mengunakan metode –metode yang diwarisi leluhur sampai saat ini, dan tidak ada perubahan dalam setiap prosesesi tahapan pelaksanaanya.
Pola pembersihan lahan mengharuskan di bakar- kenapa harus demikian? karena kalau dibakar hasilnya menjadi banyak dan bersih hingga ke anak-anak rumput , sebab pola tanam padi darat ini hanya sekali melakukan bersih lahan, dan tidak ada istilah mencabut rumput.
Dampak dari Undang-undang pelarangan embakaran ini sangat berisiko terhadap ketahanan pangan masyarakat adat pedalaman. Karena mengakibatkan terputus nya mata rantai . Selain itu Dampak dari undang-undang tersebut juga mencelakai aspek social,aspek budaya dan aspek ekonomi, yang itu dapat dirasakan langsung oleh masyarakat adat pedalaman khususnya petani.
Dalam pola bakar yang dilakukan oleh petani masyarakat adat tidak lah rumit, seperti yang di bayangkan, karena api tidak menjalar, ke wilayah lain, dan lahan mereka biasanya terdiri dari daratan bukan rawa atau gambut.
Kalau pun masyarakat adat ini membersihkan area lahan yang di perkirakan satu (1) ha. Maka bisa di pakai untuk tanam padi hanya setengah ha. Itu pun sudah luar biasa dan bisa menjaga ketahanan sumber pangan mereka untuk setahun. sedangkan pola bakar yang dilakukan masyarakat adat hasilnya lebih banyak dan kesuburan tanah juga Tetap terjaga.
Namun hal ini terhalangi oleh peraturan pelarangan pembakaran di kawasan hutan oleh pemerintah. Kepala desa pun harus mengikuti peraturan tersebut karena selalu di intruksikan oleh polisi. Seperti Kamtibnas dan Babinsa, hal ini merupakan peraturan yang dapat memperparah situasi ekonomi masyarakat adat yang berada di kawasan pinggiran hutan.
Harapan masyarakat adat yang berada dikawasan pingir hutan harus dibebaskan dari peraturan dan undang-undang tentang pembakaran lahan khususnya untuk Aceh yang tidak masuk dalam kawasan gambut.
Jika undang-undang tersebut diatur secara khusus, maka masyarakat adat yang berada di sekitar kawasan hutan sudah mengurangi beban Negara. Sebaiknya, pemerintah institusi polisi, TNI dan dinas kehutan serta metri LHK merespon dengan baik dan harus membuat skema kusus bagi masyarakat adat yang tidak bersentuhan dengan kawasan gambut.
Seharusnya pihak polisi Kamtibnam harus berupaya memberi masukan yang kontruktif, dan jangan monoton dengan aturan yang ada. beserta terus mengampayekan yang membuat masyarakat ketakutan.