Oleh : Sanusi M. Syarif dan Yusri Yusuf

Mawah: Tinjauan Sosial Budaya

Pendahuluan

Mawah, merupakan bagian dari sistem ekonomi tradisional dalam masyarakat
Aceh. Di satu sisi, pada sistem mawah melekat tradisi saling membantu dan
bekerjasama untuk kesejahteraan bersama. Sebaliknya, pada sisi yang lain, mawah
merupakan salah satu bentuk budaya berekonomi (berusaha) di dalam masyarakat
Aceh.
Dalam perkembangannya kemudian, mawah berkembang secara meluas dalam
masyarakat, bukan hanya dalam bidang pertanian dan peternakan, akan tetapi juga
meliputi bidang perdagangan dan industri.
Dalam bidang pertanian, mawah telah berkembang sedemikian rupa, sehingga
mawah bukan hanya dipraktekkan dalam bidang usaha sub sisten (sara diri) akan
tetapi juga dalam bidang usaha komersil. Dengan demikian, tradisi mawah telah
berkembang meluas di dalam masyarakat Aceh. Sebagai contoh, pada abad ke 16
hingga abad ke 19, tradisi mawah mewarnai perkembangan perkebunan komersil di
Aceh, khususnya lada (Muhammad Gade 1991).
Tulisan ini secara ringkas ingin menguraikan tentang konsep mawah, jenis,
perkembangan dan tantangan masa depan sistem mawah.

2.Konsep Mawah

Konsep mawah merupakan konsep bagi hasil usaha berasaskan tradisi (adat –
kebiasaan) di Aceh. Konsep mawah menempatkan pemilik harta/modal dan penggarap
(pengelola) pada posisi yang sama dalam mengambil menerima resiko maupun
manfaat, sesuai dengan nilai investasinya dalam suatu usaha. Dengan demikian, apabila diperoleh keuntungan kedua belah pihak turut menikmatinya. Sebaliknya,
apabila terjadi kerugian sebagai bagian dari resiko usaha, maka kedua belah pihak
sama-sama rugi.
Terdapat berbagai variasi dalam praktek bagi hasil atau mawah dalam masyarakat
Aceh, bergantung pada jenis usaha dan peranan masing-masing pihak di dalamnya.

2.1. Komponen mawah

Secara umum, komponen usaha mawah terdiri dari tiga komponen, yaitu modal
tetap, modal usaha dan tenaga. Modal tetap biasanya dalam bentuk tanah, kebun,
ternak, perahu dan uang. Modal usaha biasanya dalam bentuk uang atau keperluan
hidup sehari-hari. Sedangkan modal tenaga, merupakan tenaga yang digunakan dalam
menjalankan usaha mawah.
Dalam istilah Aceh, modal tetap dan modal usaha sering disebut sebagai pangkay.
Selanjutnya, pemilik modal disebut sebagai peutua pangkay. Walaupun demikian,
istilah peutua pangkay lebih populer digunakan di dalam usaha pertanian, khususnya
dalam kegiatan perkebunan lada (seuneubok lada) dibandingkan dengan bidang usaha
lainnya.
Istilah lain yang digunakan untuk menyebut pemilik modal adalah ureung po
(pemilik). Istilah ureung po merujuk kepada pemilik ternak, pemilik sawah, pemilik
kebun dan sebagainya. Sebaliknya, pihak yang mengurus atau mengusahakan
sesuatu dengan pola mawah disebut sebagai ureung useuha.

2.2. Prinsip-prinsip mawah

Merujuk kepada pengalaman lapangan di Aceh Besar, penulis mendapati paling
kurang ada empat prinsip utama dalam pemilihan pengelola usaha mawah, yaitu
prinsip kepercayaan, jujur, amanah dan profesional.
Pemilik modal biasanya memilih orang-orang yang dapat dipercaya untuk
mengurus investasinya, baik dalam bidang pertanian, peternakan, perikanan maupun
perdagangan. Kejujujuran dan amanah merupakan prinsip berikutnya. Walaupun
demikian, ketiga prinsip tersebut belum cukup apabila tidak disertai oleh kemampuan atau profesionalisme dalam mengelola usaha. Dalam hal ini, pemilik modal bisanya
suka menjadikan orang-orang yang ulet (gigih/gigeh) sebagai mitra usahanya.
Pemilik modal yang sudah berpengalaman dalam membiayai usaha mawah
biasanya mempunyai informasi yang cukup tentang orang-orang yang dapat dijadikan
mitra usaha, sesuai dengan bidang yang ditekuninya. Sebagai contoh adalah pemeri
mawah penggemukan ternak di kawasan dataran tinggi Aceh Rayeuk, seperti di
kawasan Indrapuri dan sekitarnya.
Sebelum pemilik ternak menyerahkan leumo agam (lembu jantan) atau keubeu
agam (kerbau jantan) untuk digemukkan oleh pihak lain, terlebih dahulu pemilik ternak
memeriksa kesiapan calon penerima mawah. Antara lain memeriksa keadaan
kandang, keadaan kebun tempat kandang ternak dan juga pengalaman calon
pemegang mawah. Orang-orang yang sudah mempunyai kandang ternak, mempunyai
kebun pisang yang cukup dan berpengalaman dalam usaha penggemukan ternak
sangat disukai sebagai mitra mawah. Sebaliknya, menyerahkan ternak untuk
digemukkan kepada orang yang tidak punya kandang, tidak punya kebun pisang,
belum berpengalaman atau sedikit lalai akan sangat beresiko bagi pemilik ternak. Oleh
sebab itu, pemilik ternak biasanya mencari berbagai cara untuk menolak orang-orang
seperti itu menjadi mitra dalam usaha mawah.

2.3. Jangka waktu mawah

Dari segi jangka waktu, pola mawah dapat dibagi dua. Pertama, mawah dengan
jangka waktu tidak terbatas. Biasanya merujuk kepada kesanggupan pemegang
mawah dan keluarganya. Sebagai contoh, mawah pemeliharaan ternak betina.
Kedua, mawah dengan jangka waktu terbatas. Mawah jenis ini biasanya merujuk
kepada satu musim atau satu jangka waktu tertentu. Sebagai contoh, mawah pula
pade dan mawah penggemukan ternak.

2.4. Sistem bagi hasil

Pada umumnya, ada dua pola bagi hasil usaha mawah. Pertama, pola bagi hasil
langsung antara pemberi mawah dengan pengelola usaha mawah. Dengan demikian,
dalam pola bagi hasil seperti ini hanya terdapat dua para pihak yang menjadi pelaku usaha mawah. Sebagai contoh dalam sistem bagi hasil mawah umong (usaha meugo),
mawah cob bubong on meuriya dan mawah pemeliharaan ternak.
Kedua, sistem bagi hasil bertingkat. Dalam sistem ini, pada tingkat pertama
dilakukan bagi hasil antara pemberi mawah dan pengelola usaha. Kemudian, pada
tingkat kedua, pimpinan pengelola usaha melakukan bagi hasil bersama semua
anggota timnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebagai contoh adalah dalam
mawah usaha perikanan (pukat darat, boat pukat, boat pukat) dan mawah usaha
seuneubok lada.

2.5. Perbandingan Bagi hasil

Berdasarkan tradisi, penentuan hak masing-masing pihak dari hasil usaha
ditentukan berdasarkan perbandingan atau persentase tertentu dari hasil usaha yang
diperoleh.
a. Mawah bagi dua
Dalam mawah bagi dua, pihak ureung po umong dan ureung useuha
mendapatkan hasil yang sama banyak. Artinya, hasil yang diperoleh dibagi dua.
b. Mawah bagi lhee (bagi tiga)
Artinya, ureung po mendapatkan satu bagian dan ureung useuha mendapatkan
dua bagian (satu banding dua)
c. Mawah bagi peut (bagi empat)
Artinya, ureung po mendapatkan satu bagian dan ureung useuha mendapatkan
tiga bagian (satu banding tiga)
d. Mawah bagi limong (bagi lima)
Artinya, ureung po mendapatkan satu bagian dan ureung useuha mendapatkan
empat bagian (satu banding empat)

5

  1. Jenis-Jenis Usaha Mawah