Oleh Sanusi M.Syarif “Kampung Bengkelang: Memetakan kembali Tanah Yang Dilupakan”
Bengkelang merupakan salah satu kampung di Mukim Sangka Pane, di Pedalaman Kabupaten Aceh Tamiang. Jaraknya dari Ibukota kabupaten sekitar 45 km. Saat ini Kampung Bengkelang masuk dalam wilayah Kecamatan Bandar Pusaka.
Kata Bengkelang diambil dari “Kelang” yang dalam Bahasa Gayo berarti perbatasan atau perpisahan. Sebutan tersebut sebagai penanda bahwa kampung tersebut terletak di batas dengan kampung yang dihuni oleh suku Melayu.
Masyarakat di Desa Bengkelang mayoritas merupakan suku Gayo, bahkan masyarakat pendatang yang tinggal di desa ini juga fasih berbahasa Gayo.
Di Bengkelang terdapat sungai Tamiang, yang melintas di sebelah utaranya, sungai ini mengalir dari pedalaman Lokop di Kabupaten Aceh Timur. Dahulu masyarakat desa Bengkelang tinggal di sisi Timur sungai di tempat yang dinamakan Pulau Kambing. Kemudian mereka pindah ke bantaran sungai di sisi Barat.
Sejak tahun 2006, ketika banjir bandang melanda desa ini, banyak masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dan memilih untuk membuka pemukiman di lokasi sekarang yang tempatnya lebih tinggi dari tempat sebelumnya. Sedangkan lokasi yang telah ditinggali tersebut kini menjadi lahan kebun milik masyarakat. Sejak saat itu pula masyarakat mulai membuka lahan di lahan “hutan produksi” di sisi barat kampung.
Penyebutan istilah hutan produksi melekat kuat dalam percakapan sehari-hari. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan negara menerbitkan konsesi HPH di masa lalu. Akibatnya, kuasa kampung dan juga konsep lokal tentang hutan sudah tidak lagi digunakan terhadap hutan yang terdapat dalam kampung ini. Keberadaan hutan kampung sebagai harta bersama secara adat, seolah dilupakan, karena tenggelam dalam sebutan istilah hutan negara, hutan produksi dan hutan lindung.
Luas wilayah Kampung Bengkelang 2.500 ha, terdiri dari pemukiman 30 ha, hutan, 2.179 ha, Kolam/tambak 5 ha, sawah tadah hujan 15 ha dan lainnya 7 ha. Sedangkan luas areal perkebunan PTPN I yang masuk dalam wilayah kampung Bengkelang, belum tersedia data yang akurat. Sedangkan jumlah penduduk 172 rumah tangga dan 767 jiwa, terdiri dari 393 laki-laki, 372 perempuan (BPS 2019).
Penduduk Kampung Bengkelang pada umumnya terdiri dari Suku Gayo, selain itu juga terdapat suku melayu Tamiang dan suku-suku lainnya. Dengan demikian, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat setempat mengamalkan adat/ budaya Gayo.
Sejak terbentuk hingga sekarang, Kampung Bengkelang telah mengalami tiga kali perpindahan lokasi pemukiman. Hal ini disebabkan oleh terjadinya banjir di wilayah itu. Perumahan penduduk pertama sekali dibangun di sisi Timur Sungai Tamiang Pada tahun 1960, perumahan penduduk pindah ke tebing sisi barat sungai. Pada masa sebelum 1960, sisi barat Sungai Tamiang merupakan kawasan perladangan dan juga berkebun. Banjir besar yang melanda Aceh Tamiang tahun 2006, membuat perumahan penduduk di tebing sisi barat sungai terendam banjir. Akibatnya penduduk terpaksa mengungsi ke dataran yang lebih tinggi.
Pada tahun 1982, dibuka PTP Nusantara I (PTPN I) di Kecamatan Tamiang Hulu, meliputi wilayah Kampung Bengkelang dan kampung-kampung lain di sekitarnya. Pembangunan kebun sawit milik PTPN I telah menimbulkan dampak pada batas wilayah antara Kampung Bengkelang dengan Kampung Batu Bedulang. Hal ini diduga disebabkan oleh hilangnya tanda batas alam, atau disinyalir karena tidak adanya pemantauan rutin terhadap garis batas kampung di dalam areal perkebunan tersebut.
Faktor ketersediaan lahan, masuknya pemilik modal dari kota yang merintis pembukaan kebun kelapa sawit dan kelancaran transportasi, telah mendorong warga untuk mulai mengembangkan tanaman kelapa sawit. Walaupun demikian, mereka tetap mengusahakan padi ladang dan tanaman tua, seperti jengkol, pinang dan durian. Perluasan tanaman sawit rakyat cukup berkembang setelah banjir besar tahun 2006. Namun dalam perkembangannya kemudian, usaha penanaman padi ladang terhenti, sebagai akibat pemberlakuan sepihak larangan tebang bakar lahan.
Titik Kritis yang dihadapi masyarakat
Berdasarkan hasil asesmen NKT 5-6, ada beberapa titik kritis yang dihadapi masyarakat Bengkelang, yaitu:
- Hilangnya tradisi/ hak adat untuk mengusahakan perladangan padi (rebe padi) di lokasi perladangan gilir balik.
- Tidak jelasnya status hak adat bersama atas kawasan hutan yang jadi lokasi perladangan gilir balik.
- Berkurangnya potensi ketersediaan ikan air tawar, salah satu sumber protein hewani di sungai.
- Belum adanya lembaga adat khusus dalam pengelolaan ladang, kebun dan hutan.
- Meningkatnya abrasi tebing sungai
- Tingginya gangguan hama monyet, landak dan babi.
- Keberlanjutan Pengelolaan hutan wisata dan perlindungan hak kampung atas Kawasan tersebut.
- Penyertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait Hak Guna Usaha Perkebunan besar. Terutama terhadap kewajiban perusahaan untuk membantu pembangunan kampung.
- Ketersediaan lahan untuk fasilitas umum dan peluang pengadaan melalui pelepasan sebagian lahan HGU Perusahaan Perkebunan.
- Keberlangsungan adat dan kelembagaan adat Gayo.
Untuk menyikapi sebagian dari persoalan tersebut diatas, telah dilakukan serangkaian pertemuan, diskusi dan proses pemetaan partisipatif, termasuk menyusun rencana tata guna lahan dengan menggunakan hasil pemetaan.
Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan untuk: Memperkuat pemahaman pemuka adat dan tokoh masyarakat atas wilayah adat dan pemetaan partisipatif, serta menfasilitasi Proses Pemetaaan kampung partisipatif dan rencana tata guna lahan
Hasil yang dicapai antara lain:
- Terbangunnya pemahaman pemangku adat terhadap manfaat pemetaan partisipatif dan perlunya mengintegrasikan konsep adat (lokal) dalam penamaan kawasan/ tata guna lahan.
- Terbangunnya pemahaman terhadap kedudukan sejarah asal usul kampung dalam peneguhan hak atas sumber daya agraria (tanah, hutan, air)
- Meningkatnya minat petani untuk melanjutkan re-claiming dan membuka lahan di kawasan bekas konsesi HPH dan HTI di kedua kampung untuk dijadikan ladang
- Adanya komitmen awal Mukim untuk mempersiapkan langkah-pangkah untuk melindungi tanah dan hutan ulayat. Dalam hal ini perlu didukung dengan pemetaan wilayah adat mukim. Karena berdasarkan Qanun Kabupaten Aceh Tamiang, harta ulayat harus didaftarkan oleh lembaga mukim.
- Tersedianya data awal para petani pembuka lahan yang perlu memperjuangkan hak atas tanah
Dalam Bidang Pemetaan, hasil yang dicapai antara lain
- Proses pemetaan partisipatif, telah membantu masyarakat Kampung Bengkelang untuk mengevaluasi kembali peta definitif yang telah dibuat pada masa sebelumnya, dengan menggunakan teknologi drone. Pemetaan dengan teknologi drone tersebut ternyata tidak didukung dengan survey “bawah” atau penjelajahan lapangan yang cukup. Akibatnya, sebagian garis batas kampung bergeser dan menyebabkan sebagian wilayah kampung masuk ke dalam batas definitif kampung tetangga.
- Adanya peta rencana tata guna lahan
- Teridentifikasi kawasan situs penting yang berhubungan dengan sejarah Kampung Bengkelang
- Disepakatinya penggunaan peta partisipatif yang telah dihasilkan sebagai rujukaan dalam penataan kawasan.
Hasil-hasil awal tersebut diharapkan dapat ditindak lanjuti dengan langkah-langkah strategis berikutnya, agar lebih berdaya guna dan berkesinambungan. (SM)