Oleh Sanusi M.Syarif “Inisiatif Dari Sulum: Pemetaan Partisipatif dan Upaya Pemulihan Hak Adat Atas Tanah dan Hutan”

Kampung Sulum terletak di kawasan hulu sungai Tamiang, tepatnya di Mukim Sekerak Kecamatan Sekerak. Jarak Sulum dari Kota Karang baru sekitar 38 km.

Untuk menuju kampung Sulum harus menyeberang sungai di Pantai Cempa. Penyeberangan pertama menggunakan jembatan gantung. Hingga saat ini jembatan gantung telah mengalami tiga kali penggantian. Penggantian terakhir setelah banjir besar tahun 2006. Kemudian, melalui datatan di tengah pulau hingga tiba dipenyeberangan kedua. Pada penyeberangan kedua terdapat sebuat getek (boat) untuk menyeberang ke sisi Timur sungai Tamiang, untuk kemudian menuju ke perkampungan.

Di hulu Sulum, terdapat kampung Baling Karang. Kampung ini beretnis Gayo. Dengan demikian kampung Sulum merupakan kampung yang terletak daerah di perbatasan dua budaya.

Alternatif Akses ke kampung sulum

  1. Dapat dicapai melalui jalan tanah, melewati perkebunan, namun ketika hujan tidak dapat digunakan, kecuali dengan kenderaan tertentu (double cabin sejenisnya)
  2. Dapat dicapai melalui kampung Pantai cempa, menggunakan jembatan gantung (khusus jalan kaki, motor), selanjutnya menggunakan boat penyeberangan. Ketika banjir tidak dapat dilakukan penyeberangan, karena berpotensi boat tenggelam ditabrak kayu hanyut.
  3. Sejak akhir Januari 2024, kampung Sulum terbebas dari ketergantungan pada transportasi sungai dengan menggunakan rakit bermotor (getek), karena telah selesainya jembatan Pematang Durian. Jembatan ini merupakan penghubung jalan kabupaten untuk mencapai Kampung Sulum, Juar, Sekumur, Balingkarang melewati Kampung Pematangdurian.
Getek penyeberangan ke Sulum

Sejarah Kampung Sulum

Kampung Sulum pada mulanya merupakan bagian atau salah satu dusun dari Kampung Pantai Cempaka yang beretnis Melayu Tamiang. Kampung ini kemudian dimekarkan menjadi Kampung Cempaka, Juar dan Sulum.

Pemukiman penduduk Kampung Sulum menempati dataran yang terletak di tengah pulau, yang dikelilingi Sungai Tamiang.

Pada masa lalu, warga Sulum menggunakan transportasi sungai (perahu-buat) untuk menuju ke Kota Kuala Simpang, sebagai pusat pemerintahan dan berbelanja kebutuhan lainnya. Demikian pula jika warga ada keperluan ke kampung di sisi Barat sungai, seperti Pantai Cempaka atau Babo.

Walaupun Sulum terisolasi di tengah sungai, namun dalam konteks politik, kampung ini sempat menjadi tumpuan perhatian di Aceh Tamiang. Hal ini terjadi pada era pemerintahan Teuku Hadi Thayeb sebagai Gubernur Aceh 1981–1986,.

Ketika itu, Sulum merupakan salah satu kampung yang menang Golkar 100 persen pada tahun 1982. Atas kemenangan tersebut, Gubernur Aceh melakukan kunjungan khusus ke Sulum, dengan menggunakan helikopter.[i] Kunjungan tersebut sangat membekas dalam ingatan bersama warga sulum pada masa itu. Sebagai kampung terpencil yang hanya dapat dijangkau dengan boat dari kota kabupaten sejauh 30 kilometer lebih, warga sulum saat itu tidak terbayangkan jika kunjungan gubernur Aceh menjadi nyata.

Setelah kunjungan gubernur, berbagai proyek pembangunan dilakukan di Sulum. Antara lain, gotong royong pembangunan jalan melalui ABRI Masuk Desa (AMD). Penataan pemukiman, melalui pembuatan pagar rumah, dengan bantuan kayu/papan dari PT Kuala Langsa dan sebagainya.

Pasca kunjungan gubernur, terbentuk era baru hubungan erat antara kampung Sulum dengan pemerintah daerah. Sejak saat itu, para sesepuh kampung sulum senantiasa memelihara komunikasi dengan pemerintah,demikian dituturkan Pak Zainal Abidin, salah seorang pemuka masyarakat setempat.

Pada tahun 1995, untuk pertama sekali dibangun jembatan gantung yang menghubungkan Kampung Pantai Cempaka dengan Sulum, yang terletak di pulau di tengah sungai.

Hingga pertengahan tahun 1990-an, Kampung Sulum masih menjadi bagian dari Kecamatan Karang Baru. Kemudian ketika terjadi pemekaran kecamatan, wilayah Mukim Sekerak dijadikan satu kecamatan yng berdiri sendiri dan bernama Sekerak juga.[ii]

Setelah banjir bandang tahun 2006, isolasi alam yang dialami kampung Sulum menjadi lebih berat. Penduduk Sulum terpaksa pindah dari tengah pulau, pindah ke sisi Timur Sungai Tamiang. Hal ini menyebabkan kampung ini semakin jauh untuk mengakses jalan kabupaten dan harus menggunakan rakit penyeberangan (getek) setelah itu baru melalui jembatan gantung.

Pemukiman baru tersebut terletak di dataran tinggi tidak jauh dari bantaran sungai, lokasi ini sebelumnya digunakan sebagai kebun oleh penduduk setempat. Pemukiman baru ini ditempati pada tahun 2007, dengan kontruksi rumah kayu. Pada masa sebelumnya, kawasan ini pernah menjadi tempat menduduk mencari rotan.

Pada tahun 2009 hingga tahun 2013, penduduk membuka perladangan padi disekitar pemukiman Sulum Baru. Dengan demikian, ketahanan pangan mereka tetap terjaga. Bekas ladang padi tersebut, sekarang sebagian besar telah menjadi kebun campuran dan kebun sawit.

Sejak tahun 2015, untuk kebutuhan akan pangan, warga membuka perladangan padi di Alur Mengkeloah diikuti oleh sekitar 20 KK. Kemudian dilanjutkan pada tahun berikutnya di kawasan sekitarnya. Pada tahun 2016 diikuti oleh 25 KK, masa itu padi sangat bagus dan sampai zakat. Pada tahun 2017 diikuti oleh 29 KK, tahun 2018 diikuti 36 KK tahun 2019 jumlah peladang 36 KK, tahun 2020 juga 36 KK, demikian pulan tahun 2021.

Sejarah Transportasi

Selama puluhan, bahkan seratusan tahun yang lalu, hubungan antara kampung Sulum dengan pusat pemerintahan mengandalkan transportasi sungai. Mulai dari menggunakan perahu hingga perahu bermesin atau boat. Begitu pula halnya untuk menuju ke kampung seberang sungai.

Transportasi menggunakan mobil ke karang baru dimulai pada tahun 1995. Pada waktu itu keadaan jalan masih buruk. Baru pada tahun 2014 keadaan menjadi lebih bagus dan sudah ada pengerasan. Namun demikian, pengaspalan jalan hingga mencapai kampung Babo baru terwujud pada tahun 2015. Sehingga lama waktu tempuh dari Sulum ke Karang Baru sejauh 36 Km menjadi lebih pendek. Walaupun demikian, pada saat ini belum ada jalan yang dapat dilalui mobil setiap waktu. Karena sebagian masih merupakan jalan tanah bercampur batu.

Tata Guna Lahan

Tata guna lahan di Kampung Sulum terdiri dari kawasan perumahan, kebun campuran, perladangan, hutan dan pemanfaatan lainnya.

Kawasan Perumahan pada saat ini tersebar di sisi Timur Sungai Tamiang, menempati kawasan dataran tinggi, sekitar lima hingga enam meter dari paras air sungai dalam kondisi normal.

Kawasan kebun terletak di sekitar pemukiman penduduk yang sekarang dan juga di pulau di tengah sungai, di bekas pemukiman lama

Sedangkan hutan dan perladangan berada di kawasan bekas HTI, yang diakses melalui jalan perusahaan perkebunan sawit

Ada tiga potensi konflik yang perlu dicermati dan ditangani sejak awal di kampung Sulum. Yaitu dengan perusahaan perkebunan sawit,  dengan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan dengan pihak luar yang membuka lahan tanpa izin kampung.

Konflik dengan perusahaan sawit berawal dari tumpang tindihnya hak atas lahan. Dalam hal ini, perusahaan dan masyarakat telah melakukan perundingan langsung untuk penyelesaiaannya. Dalam pertemuan di PT semadam tahun 2020, dijanjikan akan dikeluarkan lahan dari HGU khususnya yang belum dikelola perusahaan. Lokasinya di Dusun Tani Alur Minyak. Sudah ada negosiasi, namunbelum ada dokumen tertulis. Selain itu juga baru kesepakatan titik batas dan  belum ada patok lapangan. Pada awal tahun 2020, telah ada rencana pengukuran. Pada hari yang dijanjikan, Ketika utusan kampung datang ke lokasi, staf perusahaan sudah pulang, sehingga pengukuran tidak jadi.[1] Pada saat ini ada lahan yang sudah dilepas PT Seumadam 1.500 ha,mencakup lokasi di beberapa kampung

Dalam kaitannya dengan HTI, masyarakat sama sekali tidak tahu tentang keberadaan HTI tersebut dan proses penerbitan izin HTI tanpa ada komunikasi, konsultasi dan persetujuan dari masyarakat Sulum. Penerbitan izin tersebut terjadi pada masa orde baru. Berdasarkan informasi yang diperoleh masyarakat, HTI tersebut sudah berakhir masa berlakunya.

Sekarang ini kawasan bekas HTI dimanfaatkan warga sebagai lahan perladangan padi, untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Kegiaatan perladangan telah dilakukan di kawasan tersebut sejak tahun 2015 hingga tahun 2021.

Untuk mengakses lokasi perladangan tersebut dan juga sebagian lokasi kebun, warga harus melewati areal kebun sawit perusahaan, sebagai satu-satunya jalan masuk. Namun jalan perusahaan tersebut dilengkapi portal yang sering terkunci. Sehingga menyebabkan mobilitas masyarakat terhambat. Akibatnya kunjungan ke ladang sering terganggu. Bahkan pernah buah kelapa sawit milik warga busuk, karena tidak bisa diangkut dengan kenderaan, terhalang oleh portal.

Tentang keberadaan portal di jalan menuju ladang tersebut telah pernah dikomunikasikan dengan pihak perusahaan. tetapi belum terlaksana sebagaimana mestinya.

Isu Kritis Yang Berkembang di Lapangan

  1. Penguatan tata Kelola kebun dan upaya penguatan status hak atas lahan eks HTI
  2. Penegasan Pelepasan areal HGU semadam yang belum dikelola dan tidak adanya Kebun plasma
  3. Perlindungan dan pemanfaatan hutan damar yang tersisa
  4. Status hak warga atas kebun campuran di kawasan hutan ulayat kampung yang kemudian dijadikan HTI dan Hutan Produksi, serta Kawalannya
  5. Akses masyarakat ke kebun, terhalang oleh portal jalan perusahaan (Jalan akses ke kebun di hutan eks HTI, melalui PT Semadam)
  6. Lahan cadangan untuk pangan, perladangan padi tidak cukuptersedia, dan sudah lebih jauh lokasinya
  7. Penyelesaian/ pemenuhan kesepakatan warga dengan Perusahaan
  8. Kebutuhan untuk peningkatan pengerasan jalan akses ke ibu kota kecamatan/ kabupaten
  9. Kawasan eks HTI dan Hutan Produksi mudah diakses oleh warga kampung lain
  10. Sungai mengalami kelangkaan ikan dan tebing sungai labil abrasi

Agenda Pemetaan dan Pengembangan Tata Guna Lahan

Untuk merespon isu atau persoalan di atas, bersama masyarakat disepakati pengembangan agenda pemetaan partisipatif dan rencana tata guna lahan, serta didukung oleh serangkaian pertemuan dan diskusi. Kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung sejak tahun 2023 hingga sekarang.

Pemetaan partsipatif yang dilakukan meruapakan salah satu upaya wal untuk pemulihanhak adat atas tanah, hutan dan air, sebagai sumber agraria yang penting bagi masyarakat adat.

Diskusi sketsa kampung untuk pemetaan

Hasil awal yang dicapai antara lain dalam bidang penguatan pemahaman masyarakat, pemanfaatan lahan dan ketahanan pangan, pengawasan dan pengendalian orang Luar yang membuka lahan, upaya Pemulihan hak atas tanah/ hutan ulayat, keorganisasian petani dan data.

Dalam Bidang Penguatan pemahaman: Terbangunnya pemahaman pemangku adat di kedua kampung terhadap manfaat pemetaan partisipatif dan perlunya mengintegrasikan konsep adat (lokal) dalam penamaan kawasan/ tata guna lahan; Terbangunnya pemahaman terhadap kedudukan sejarah asal usul kampung dalam peneguhan hak atas sumber daya agraria (tanah, hutan, air); serta Terbangunnya pemahaman terhadap pentingnya organisasi sebagai wadah perjuangan petani.

Bidang Pemanfaatan lahan dan ketahanan pangan: Meningkatnya minat petani untuk melanjutkan re-claiming dan membuka lahan di kawasan bekas konsesi HTI untuk dijadikan ladang serta tumbuh kembali minat masyarakat untuk membangun ketahanan pangan melalui perladangan padi gilir balik di hutan kampung yang dulu dijadikan konsesi HTI .

Bidang Pengawasan dan Pengendalian Orang Luar yang membuka lahan: Teridentifikasinya warga luar yang membuka lahan hutan dalam wilayah kampung Sulum tanpa izin kampung; Ada upaya awal untuk mengawal pembuka lahan dari luar kampung

Bidang Keorganisasian dan Data: Tumbuhnya minat dan inisiatif untuk memperkuat gerakan petani dalam pemanfaatan lahan dan pengakuan hak atas tanah; terbentuknya organisasi petani Lestari Jaya sebagai alat perjuangan dan media  konsolidasi petani dalam memperjuangkan hak-hak atas sumber daya agraria. Jumlah anggota saat terbentuk 22 orang. Mereka adalah para peladang di hutan kampung eks konsesi HTI, serta tersedianya data awal para petani pembuka lahan yang perlu memperjuangkan hak atas tanah.

Hasil (ouput) untuk sasaran kedua: Tersedianya peta wilayah adat kampung dan peta rencana tata guna lahan serta adanya tindak lanjut pasca pemetaan. Hasilnya dapat digambarkan sebagai berikut:

  1. Proses pemetaan Partisipatif, telah membantu masyarakat Kampung Sulum untuk mengindentifikasi garis batas wilayah kampung yang telah di ekploitasi/dibuka oleh penduduk luar, tanpa melalui persetujuan proses dari kampung. selain itu, mendapatkan informasi akurat, bahwa masih ada sebagaian wilayah kampung Sulum belum dimasukkan kedalam peta, karena terbatasnya informasi yang dieroleh dari sesepuh kampung. Hal ini telah di konfirmasi oleh sesepuh kampung tetangga (Kampung Pematang Durian).
  2. Adanya peta rencana tata guna lahan
  3. Disepakatinya penggunaan peta partisipatif yang telah dihasilkan sebagai rujukaan dalam penataan kawasan.
  4. Adanya komitmen kampung untuk melanjutkan survey lanjutan, terhadap wilayah kampung yang belum disurvey (karena dis-informasi) dan dimasukkan ke dalam peta (Kampung Sulum).
  5. Adanya komitmen kampung untuk menjadikan peta rencana tata guna lahan sebagai dasar penataan kembali organisasi petani.

[1] Setelah kemenangan Golkar pada tahun 1971, dengan pencapaian separuh dari suara pemilih, duakali pemilu setelahnya, 1977 dan 1982, Golkar kalah suara dari pantai PPP yang meraih 60 persen suara. Baru pada tahun 1987 Golkar menang kembali (masa Gubernur Aceh Ibrahim Hasan. Johan Wahyu. 2009)

[1] Sekerak berarti sepotong atau dalam bahasa Aceh disebut “”sikrak”.