Sanusi M. Syarif dan A.Malik Musa
Hariya Peukan Dari Perspektif Penguatan Ekonomi Kerakyatan
Adat meublang keu pangkai meugo
Adat blo publo jeut bek na dakwa
Pendahuluan
Kejayaan peradaban Aceh pada masa dahulu telah memberikan sumbangan dan inspirasi penting kepada berbagai kerajaan Melayu lainnya di Nusantara. Salah satu diantaranya adalah dalam bidang penggunaan kitab-kitab yang ditulis ulama Aceh sebagai rujukan dan juga mengadopsi sebagian sistem kelembagaan yang ada di Kesultanan Aceh.
Dalam perkembangannya kemudian, di Aceh justru terjadi kemunduran luar biasa dalam bidang kelembagaan, khususnya pada tingkat gampong dan mukim. Keadaan itu bukan hanya disebabkan oleh diberlakukannya UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, akan ada factor-faktor lain yang telah terjadi dalam masa sebelumnya. Sebagai contoh adalah perubahan sistem pemerintahan dan adanya kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan lembaga-lembaga adat di Aceh.
Akibatnya berbagai lembaga adat pada tingkat mukim dan gampong kehilangan kewibawaan di mata masyarakat dan tidak diakui keberadaannya oleh Negara. Dengan demikian, lembaga adat seperti imuem mukim, imuem mesjid, keuchik, teungku meunasah dan tuha peut kehilangan kewenangannya (otoritas) yang asli. Begitu pula halnya dengan lembaga-lembaga adat yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan khusus, seperti peutua seuneubok, keujruen blang, peutua uteun, panglima laot dan hariya peukan.
Walaupun mengalami pengabaian dan penghancuran sistem, lembaga-lembaga adat yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan tersebut masih tetap berwujud (eksis) di sebagian mukim dan gampong. Sebaliknya, lembaga syahbanda atau hariya peukan justru sudah jarang ditemukan di Aceh.
1 Disampaikan pada acara Lokakarya Hariya Peukan. Dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh pada 9-10 Nopember 2009 di Hotel Rasa Mala Indah – Banda Aceh.
2 A. Malik Musa, SH.M.Hum adalah Dosen Fakultas Hukum Unsyiah dan Pengurus MAA. Sanusi M. Syarif, SE.M.Phil adalah Staf MAA dan pendiri Yayasan Rumpun Bambu.
2.Karimuddin Hasybullah (1977) dalam penelitiannya di Peukan Seulimuem dan Sibreh pada awal tahun 1970-an menemukan fakta bahwa kedua peukan tersebut pada masa itu sudah tidak lagi diurus oleh hariya peukan.3 Pengelolaan peukan dikontrakkan kepada pihak swasta. Hal ini menunjukkan lembaga hariya peukan sudah tidak ada lagi. Selain itu, pengelolaan peukan oleh pihak swasta lebih bertumpu kepada urusan pemungutan restribusi dari para peniaga, kemudian menyetorkannya kepada pemerintah kabupaten. Dengan demikian telah terjadi kemunduran dalam pola pengelolaan kawasan peukan, dari pola pengelolaan menyeluruh kepada pengelolaan yang semata-mata urusan pajak (restribusi). Sebliknya urusan penataan, penertiban, pembinaan, keamanan dan pengembangan peukan menjadi terabaikan.
Selanjutnya, Teuku Mohd. Djuned dalam penelitiannya tentang Hukum Adat Aceh, Gayo dan Alas pada awal tahun 2000-an menemukan fakta bahwa lembaga hariya peukan sudah tidak ditemukan lagi.4 Walaupun demikian, beberapa mukim di Aceh ada yang berinisiatif untuk menghidupkan kembali lembaga Hariya peukan. Sebagai contoh adalah di Mukim Lamno. Mukim tersebut melakukan proses penguatan kembali lembaga hariya peukan mulai tahun 2002. Yaitu setelah dilakukannya kajian mukim partisipatif yang difasilitasi oleh Yayasan Wahana bekerjasama dengan Tim Bersama Forum LSM Aceh. Namun demikian, usaha tersebut praktis terhenti setelah konflik Aceh semakin memanas, serta adanya pihak tertentu yang mengambil alih pengelolaan Peukan Lamno dari Lembaga Mukim.
5.Hariya Peukan di Masa Dulu
Pengaturan dan pengurusan peukan telah berkembang sedemikian rupa dalam masyarakat Aceh pada masa dahulu. Oleh sebab itu, Sultan Aceh memandang penting untuk mengukuhkan keberadaan hariya peukan dalam Kanun Syarak Kesultanan Aceh atau Adat Meukuta Alam. Dalam hal ini, hariya peukan tunduk kepada lembaga syahbandar. Fungsi hariya peukan antara lain: mengawasi kegiatan penimbangan barang oleh petugas yang disebut dengan kejurun tandi. Menjamin keamanan peukan dan barang-barang yang disimpan di peukan, memungut wase peukan atau adat hariya.6 Selain itu, Hariya peukan juga berfungsi untuk menertibkan penggunaan lapak atau tempat berjalan dan ketertiban berjual beli.
3 Karimuddin Hasybullah. 1977. Uro Ganto di Aceh Besar, dalam Alfian. Ed. Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh: Hasil-Hasil Penelitian Dengan Metode Grounded Research. Jakarta. LP3ES.
4 Teuku Mohd. Djuned. 2002. Hukum Adat Aceh, Gayo dan Alas. Banda Aceh. LAKA.
5 Imuem Mukim Lamno. 2009. Pengelolaan Peukan Lamno. Banda Aceh. Wawancara 20 Oktober 2009.
6 Moehammad Hoesin. 1970. Adat Atjeh. Banda Aceh. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
3
Namun demikian, selama terjadinya perang Aceh dan pada masa awal pendudukan Belanda, kehidupan peukan praktis mengalami kemunduran. Suasana peukan tidak lagi bergairah, sebagai akibat perang total dengan Belanda. Akibatnya, hasil-hasil pertanian dan kegiatan perdagangannya turut mengalami kemunduran. Keadaan ini tentunya berdampak kepada penurunan kesejahteraan rakyat dan juga berkurangnya pendapatan negeri.
Untuk mengairahkan kembali kehidupan peukan, para ulee balang yang memimpin pada masa itu dan juga pemerintah Kolonial Belanda bermufakat untuk menghidupkan kembali uroe peukan atau uroe ganto. Seperti yang dilakukan oleh uleebalang VII Mukim Padang Tiji dan Controleur Belanda yang bernama Van De Velde.7 Pendekatan serupa juga terjadi di wilayah VII Mukim Baet, Aceh Rayeuk dalam mengembangkan uroe ganto di peukan Sibreh (Karimuddin Hasybullah dalam Alfian 1977).
Menurut salah satu sumber, hingga masa Kolonial Belanda, pengaturan peukan masih berada pada lembaga hariya peukan.
Pengelolaan Kawasan Peukan di Negara Lain
Dalam masyarakat modern, konsep pengelolaan kawasan sudah berkembang sedemikian rupa. Di banyak Negara, dominasi Negara dalam pengelolaan kawasan mulai berkurang. Hal ini sejalan dengan proses demokratisasi dalam kehidupan bernegara. Oleh sebab itu, selain pengelolaan kawasan oleh Negara, sebagian kawasan ada yang dilimpahkan pengelolaan kepada pihak swasta. Sebagai contoh, pengelolaan kawasan hutan konservasi, kasasan hutan konsesi dan kawasan laut konsesi. Selain itu adapula kawasan yang dikelola oleh masyarakat. Pengelolaan kawasan oleh masyarakat dikenal dengan istilah “pengelolaan berbasis masyarakat”. Sebagai contoh kawasan hutan adat dan kawasan perairan adat.
Sekarang ini, praktek pengelolaan kawasan berbasis masyarakat sudah berkembang sedemian rupa. Pada awalnya, hanya dipraktekkan oleh kalangan masyarakat adat atau masyarakat suku (tribal people, indigenous people) di Negara berkembang. Yang pada akhirnya juga dipraktek juga oleh masyarakat perkotaan di Negara maju. Dalam hal ini termasuk pengelolaan kawasan peukan atau pasar mingguan.
7 Van de velde, J.J. 2001. Dari Kehidupan amtenar BB di Aceh dan Tanah Gayo, dalam Van der Wal, S.L. Kenang-kenangan Pangreh Praja Belanda 1920-1942. Jakarta. Jambatan.
4
Pasar Mingguan di Berbagai Negara
Di Negara maju, seperti di Amerika Serikat pengelolaan kawasan pasar sudah bukan lagi dominasi Negara. Sebagian kawasan pasar, khususnya pasar mingguan dikelola oleh perhimpunan masyarakat tertentu. Sebagai contoh: di kota Fayetteville (Negara bagian Arkansas), pasar mingguan dikelola oleh persatuan petani organik.8 Lokasi pasar mingguannya menggunakan sebagian jalur jalan tertentu sebagai tempat jualan, sementara trotoar tetap difungsikan sebagai tempat orang lalu lalang. Pasar tersebut berlangsung tiap hari Sabtu.
Barang-barang yang diperjualbelikan pada umumnya adalah hasil pertanian organik, mulai dari bunga, sayuran hingga buah-buahan. Selain itu juga dijual berbagai produk kerajian dan karya seni, baik hiasan maupun keperluan rumah tangga sehari-hari. Bahkan di salah satu pojok pasar terdapat peniaga yang menjual Kopi Gayo. Baik dalam bentuk bubuk maupun dalam bentuk minuman siap saji. Kopi Gayo tersebut mereka golongkan juga sebagai kopi organik.9
Sebaliknya, di Malaysia Pasar mingguan dimodifikasi dalam bentuk pasar malam. Berlangsung mulai dari pukul 16.00 sore hingga pukul 23.00 malam.
Lokasi pasar malam biasanya menggunakan sebagian badan jalan yang tidak mengganggu pengguna jalan lainnya. Biasanya, lokasinya berdekatan dekat kompleks perumahan. Selanjutnya, luas lapak mengacu atau menggunakan garis tanda tempat parkir untuk satu buah mobil. Sedangkan hari berlangsungnya pasar malam dilakukan secara bergilir dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian, pelaksanaannya praktis berlangsung sepanjang minggu. Artinya, ada pasar malam yang dilaksanakan pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu dan Minggu. Biasanya, pasar malam yang berlangsung pada hari Jum’at dan Sabtu sangat ramai pengunjungnya serta berlangsung lebih lama hingga larut malam. Hal ini karena pada keesokan harinya penduduk setempat libur.
Barang-barang yang dijual antara lain pakaian, alat rumah tangga, hiasan, buah-buahan, ikan, sayuran dan makanan (baik tradisional maupun modern). Sayuran dan buah-buahan pada umumnya berasal dari Malaysia. Walaupun demikian tidak sedikit yang berasal dari Negara tetangganya Thailand. Selain itu juga ada yang berasal dari Indonesia.
Dalam menjajakan barang di pasar malam, para peniaga cukup kreatif, khususnya dalam menyusun tata letak barang. Barang-barang disusun sedemikian rupa agar dapat
8 Michel. 2006. pengelolaan Pasar mingguan. Little Rock. Wawancara pribadi 9 Juli
9 Pengamatan penulis selama menetap di Kota Fayetteville, Arkansas pada Juni – Juli 2006.
5
menimbulkan kesan murah di mata pembeli. Selain itu, juga untuk mempermudah pembeli untuk melihat atau menjangkaunya.10
Fungsi pasar malam di Malaysia, sekarang ini telah berkembang lebih jauh. Bukan lagi sebagai tempat berjual beli semata, akan tetapi juga sebagai pusat rekreasi dan jadi bagian dari gaya hidup warganya.
Pengelolaan kawasan pasar mingguan (di sana disebut Pasar Malam) dilaksanakan oleh orang tertentu yang mendapatkan izin kerajaan negeri melalui pejabat daerah setempat. Biasanya, setiap pengguna lapak harus mendapatkan izin berniaga dari kerajaan negeri dan membayar sedikit biaya administrasi. Selanjutnya, pengelolaan pasar malam tersebut dilakukan melalui sistem kontrak. Pemegang kontrak bertugas untuk memungut sewa lapak, mengatur lokasi lapak bagi peniaga dan membersihkan kawasan pasar malam setelah selesai dipakai. Biaya sewa lapak harian tersebut digunakan untuk jasa kebersihan, jasa pengelola, dan untuk pendapatan daerah.
Dari hasil pungutan sewa lapak tersebut (restribusi), pemegang kontrak membiayai para pekerja untuk melakukan pembersihan kawasan berjualan. Kegiatan pembersihan kawasan lapak tersebut biasanya dilakukan segera setelah pasar malam tutup. Kegiatan pembersihan berlangsung dari pukul 11.00 malam hingga selesai.
Pada masa sekarang, pungutan dari peniaga di pasar malam memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pendapatan daerah di Malaysia. Selain itu, pada bulan puasa, sejumlah ruas jalan tertentu di tata menjadi kawasan pasar ramadhan, sebagai tempat peniaga berjualan makanan. Dalam hal ini, para juga diharuskan memberikan sejumlah bayaran tertentu kepada pengelola pasar.
Pendapatan dari hasil penjualan lapak jualan di bulan puasa memberikan kontribusi penting bagi pendapatan negeri/daerah. Sebagai contoh, wilayah persekutuan Kuala Lumpur pada tahun 2005 mengumpulkan sekitar 75.000 ringgit Malaysia, dari hasil penjualan konsesi penggunaan lapak jualan di bulan ramadhan.11 Dalam hal ini, semua pihak menerima manfaat lebih dari sistem pengelolaan pasar yang tertib dan teratur. Termasuk para pelaku ekonomi rakyat dan penduduk sekitarnya.
10 Lin Chew Man. 2007. Pengelolaan Pasar Malam di Malaysia. Hentian Kajang. Wawancara Pribadi.
11 Kalau dirupiahkan sekitar 200 juta lebih.
6
Bagaimana di Aceh?
Pada masa sekarang, pengelolaan kawasan peukan di Aceh pada umumnya menggunakan sistem kontrak kepada pihak swasta. Dengan demikian kawasan peukan praktis berada di bawah pengurusan perorangan, bukan di bawah pengurusan mukim dan gampong. Akibatnya hubungan peukan dengan lembaga gampong dan mukim terputus. Padahal semestinya tidak demikian, ikatan pengelola peukan dengan gampong/mukim justru perlu diperkuat. Tujuannya agar pengelolaan dan pengembangan pasar menjadi lebih terarah dan berkembang. Sebaliknya, gampong/mukim dapat menikmati manfaat ekonomi dalam bentuk pendatan gampong/mukim
Selain itu, sistem kontrak kepada perorangan akan menyebabkan usaha untuk memaksimalkan fungsi peukan atau uroe ganto sebagai media penguatan ekonomi rakyat menjadi tidak maksimal. Padahal, uroe ganto sangat strategis dalam membuka ruang dan mendorong tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat di kawasan setempat.
Hal ini disebabkan karena para pemegang kontrak pengelolaan peukan uroe ganto semata-mata terfokus pada upaya pengutipan restribusi, menjaga ketertiban dan kebersihan semata. Mereka tidak berinisiatif untuk mengembangkan kehidupan pasar lebih jauh.
Oleh sebab itu, penting kiranya mengembalikan pengurusan kawasan peukan kepada gampong dan mukim. Selanjutnya, mukim dan gampong membentuk lembaga hariya peukan untuk mengurusnya. Dalam hal ini, bukan hanya untuk kawasan peukan yang menjadi pusat kegiatan uroe ganto, akan tetapi juga kawasan peukan harian di seluruh Aceh. Sebagai contoh: Peukan Peunayong, Peukan Aceh dan Peukan Seutui di Kota Banda Aceh.
Hal ini tentunya sesuai dengan arah dari pembangunan Aceh di masa depan, dimana penguatan sistem adat dan kearifan lokal perlu mendapat tempat di semua sektor kehidupan. Termasuk di sektor perdagangan dan ekonomi rakyat.
Bagaimana fungsi hariya peukan ke depan?
Apabila kita merujuk kepada sejarah, maka nampak jelas bahwa peran hariya telah mengalami perubahan sedemikian rupa. Dari lembaga yang cukup berwibawa dalam mengurus kehidupan peukan, menjadi lembaga bayangan yang hanya ada dalam ingatan ureung Aceh atau dalam buku-buku sejarah/adat.
7
Walaupun demikian, dengan memperhatikan dinamika yang tumbuh di zaman modern, maka cukup beralasan apabila lembaga hariya peukan dihidupkan dan difungsikan kembali. Dalam hal ini tentunya dengan melakukan penyesuaian dan pengembangan fungsi. Sehingga sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh: mempertahankan status lembaga hariya peukan sebagai bagian dari mukim dan gampong. Selain itu perlu diperluas peran hariya peukan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari.
Oleh karena itu penting kiranya menjadikan lembaga Hariya peukan bukan hanya sebagai manager, akan tetapi juga sebagai pengembang (developer) dan sebagai penengah (mediator) dalam menyelesaikan sengketa di kawasan peukan. Sebagai manager, hariya peukan tentunya mengelola kawasan peukan agar terurus dan tertata dengan baik. Sebagai pengembang, Hariya peukan perlu berupaya agar kawasan peukan yang dipimpinnya senantiasa hidup dan berkembang. Termasuk menjadikannya sebagai pasar khusus bagi komoditi tertentu, seperti produk kerajinan, pertanian organik dan makanan. Peukan dengan fungsi dan layanan khusus akan memberikan daya tarik tertentu bagi pembeli. Baik penduduk setempat maupun pendatang dan tamu (wisatawan). Keadaan ini tentunya akan memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ekonomi rakyat setempat.
Selanjutnya, sebagai penengah, hariya peukan dapat membangun harmonisasi dan kedamaian di lingkungan peukan. Hal ini dimungkinkan oleh kedudukan hariya peukan sebagai salah satu lembaga adat yang diakui Undang-Undang di Aceh.
Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah memberikan jaminan perlindungan keamanan terhadap barang-barang yang disimpan di kawasan peukan. Seperti pernah dijalankan oleh para hariya peukan pada masa dahulu.
Diharapkan penguatan lembaga hariya peukan dapat menjadi salah satu media alternatif untuk mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat di Aceh. Dengan demikian, lembaga ini dapat memberikan sumbangan positif dalam mengontrol dan membina pelaku ekonomi rakyat dalam mengoptimalkan pemanfaatan dana bantuan modal kerja, baik dari pemerintah maupun perbankan.
Terima Kasih, Semoga Bermanfaat