Oleh Agus Halim Wardana

Gelora Kebangkitan Aceh dari Sudut kecil Mukim Lamteuba

Belasan tahun ke belakang, Aceh terpuruk dalam jurang konflik dan bencana.  Perdamaian yang ditandai dengan MoU Helsinki tidak serta-merta menaikkan penghargaan dan aktualisasi diri masyarakat adat di Aceh.  Seturut itu, berbagai inisiatif berkembang, termasuk geliat pengelolaan sumber daya alam dari sudut kecil Mukim Lamteuba.

Pelataran Meunasah Gampong Lamteuba Droe tampak kering.  Beberapa orang tengah berbicara pada sebuah bangunan beratap seng di luar meunasah.  Debu terbang ketika beberapa ekor sapi melintas.  Beruntung karena persis di sebelah bangunan itu, rumpun bambu besar menyelamatkan mereka dari partikel debu. Meunasah, merupakan bangunan tempat warga gampong melaksanakan ibadah, pendidikan agama, sekaligus berfungsi sebagai tempat musyawarah dan penyelesaian sengketa secara adat.

Orang-orang yang sedang berbicara menanti kedatangan rombongan tetua adat dari beberapa kampung di Mukim Lamteuba, Aceh Besar.  Di mukim itu, ada 8 gampong (kampung) yang hendak melakukan rapat besar hari ini (7/9).

Imeum Mukim Lamteuba, Bahrum, melintas di depan bagunan,  beliau memberi salam dan berbicara sebentar, sebelum orang-orang mengikuti langkahnya masuk ke dalam meunasah.  Rombongan dari gampong lain tiba sesaat kemudian.

Di dalam meunasah, para Keuchik (Kepala Gampong) berikut barisan Imeum Chik (Imam Masjid), beberapa orang Tuha Peut dan Tuha Lapan, pemuda dan perwakilan perempuan sudah hadir.  Paling penting dalam pertemuan itu adalah kehadiran Keujruen Blang.

Tuha Peut dan Tuha Lapan merupakan perwakilan masyarakat mukim yang terdiri dari tokoh-tokoh yang dipilih oleh masyarakat gampong dan mukim.  Sementara Keujruen Blang adalah lembaga adat yang mengatur pengelolaan wilayah persawahan dan irigasi di Aceh.  Pada tingkat mukim, pimpinan lembaga keujruen blang disebut dengan keujruen chik. Blang dalam bahasa Aceh berarti sawah.

“Kami membahas aturan adat tentang sawah, air dan irigasi,” ucap Bahrum.

Menurut Bahrum, aturan tersebut diharap menjadi salah satu upaya masyarakat Aceh untuk mengatur sumber daya alamnya secara mandiri, khususnya sawah, irigasi, sungai dan mata air.

Berkilometer di timur Lamteuba, Mukim Siem telah terlebih dahulu menggeliat.  Pada 24 Maret 2013 telah ada Ikrar Siem-Krueng Kalee, ikrar para Imeum Mukim di Aceh yang untuk memperjuangkan kedaulatan mukim. 

“Ikrar ini berisi janji para Imeum Mukim untuk memperjuangkan kedaulatan atas wilayah, hukum adat, sumber daya alam, pemerintahan adat dan pengambilan keputusan,’ ungkap Imeum Mukim Siem, Asnawi.

Bersama Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Duek Pakat Mukim (MDPM) Aceh Besar, Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) dan beberapa LSM lain di Aceh, Asnawi memperjuangkan agar ikrar ini terealisasi.  Lagi, peranan banyak pihak masih dibutuhkan untuk melakukan percepatan.

“Ikrar ini masih berlaku.  Perjuangan kami tidak akan surut,” seru Asnawi.

Pemerintahan Mukim, lanjut Asnawi, sesungguhnya sudah diatur dalam kebijakan provinsi dan kabupaten. Pemerintah Aceh pada 2008 memberlakukan qanun nomor 9 tentang Pembinaan Adat dan Adat istiadat dan Qanun nomor 10 tentang Lembaga Adat. Sementara di Kabupaten Aceh Besar sudah ada qanun nomor 8 tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim.

“Namun qanun-qanun ini masih membutuhkan aturan yang lebih operasional.  Misalnya yang berkaitan dengan mekanisme perencanaan dan alokasi anggaran.  Termasuk aturan tentang fasilitas yang dapat diterima Pemerintahan Mukim.  Paling penting, perlu ada aturan tentang harta dan kekayaan mukim dan bagaimana aturan pengelolaannya, ” jelas dia.

Asnawi yang kini juga menjabat sebagai Ketua MAA Aceh Besar berkomitmen kuat mendukung Pemerintahan Mukim di Aceh Besar dalam perbaikan tata kelola pemerintahan mukim dan pengelolaan sumber daya alam.  MAA Aceh Besar saat ini tengah mendorong sinergi banyak pihak untuk secara bersama-sama melakukan penguatan terhadap Mukim.  Tapi kenyataan berkata lain, dukungan pendanaan untuk penguatan MAA di level kabupaten seolah menemui jalan buntu.

Kendati kelembagaan adat di Aceh – mulai dari Lembaga Wali Nanggroe, MAA hingga lembaga adat di level Mukim dan Gampong – telah diatur dalam qanun, namun Asnawi beranggapan semua itu hanya nostalgia.

“Kita akan hancur karena konflik kepentingan, dinamika politik lokal, serta minimnya dukungan anggaran.  Semua itu akan turut mengendapkan pemikiran tentang lembaga adat yang berdaulat,” tandas Asnawi.

Dia mengimbau agar komponen masyarakat adat, masyarakat sipil lainnya, Wali Nanggroe, MAA, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota melakukan refleksi.  Tujuannya untuk meluruskan kembali arah perjuangan otonomi khusus yang disandang Aceh.

“Inisiatif ini penting dilakukan.  Apakah pemerintah mau menjadi penggerak utama Atau justru Wali Nanggroe yang mulai menggalang inisiatif ini? MAA, jelas pada posisi mendukung,” ungkap Asnawi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif YRBI, Sanusi Syarif mengungkap bahwa advokasi kebijakan itu penting.  Tapi, seiring dengan itu penting pula melakukan advokasi anggaran. 

“Pada konteks ini, perlu ada pihak lain yang turut melakukan advokasi anggaran.  YRBI bersama Pemerintahan Mukim saja tidak cukup.  Inisiatif ini perlu melibatkan pihak lain yang juga berkomitmen,” ungkapnya.

Pihak-pihak, lanjut Sanusi, penting untuk saling menguatkan kapasitas masing-masing.  Konteks kelokalan Aceh sangat unik sehingga membutuhkan pemahaman yang mendalam, berikut pula pemahaman yang kuat atas karakter adat Aceh.

Senada dengan Sanusi, Asnawi berpendapat semakin kuat kapasitas dan pemahaman tersebut, maka semakin baik pula pengelolaan program pengamanan hak masyarakat adat di Aceh.  Sinergi antar pihak menjadi kunci keberhasilan peningkatan kapasitas guna mempercepat terpenuhinya hak-hak masyarakat adat di Aceh dalam mengelola sumber daya alam dan meningkatkan kemandiriannya.

“Kami berada sebarisan dengan YRBI,” tandas Asnawi.

Selain kapasitas, katanya, jaringan antar lembaga (Pemerintah, Lembaga Masyarakat Sipil/Civil Society Organisation/CSO, dan lembaga lainnya) dan kedekatan personal sangat mempengaruhi besar atau kecilnya skala gerakan.

“Skala jaringan bisa mulai dari tingkat gampong, mukim, kecamatan, hingga internasional.  Kadang kita perlu menantang diri sendiri untuk memperluas jaringan guna mendongkrak dampak-dampak program di lapangan,” kata Asnawi.

Dalam ranah lain, kondisi Aceh kini terus berubah.  Pemberlakukan status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer antara tahun 1989 hingga 1998 telah menciderai banyak pihak, termasuk masyarakat adat.  pada 2000 hingga 2004, operasi militer di Aceh turut mewarnai ketegangan antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Pada masa itu, isu penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sentral,” ungkap Sanusi.

Pasca tsunami Aceh tahun 2004, ada beberapa hal penting yang menjadi fokus, yakni: operasi kemanusiaan dan respon cepat terhadap bencana, perdamaian Aceh, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami.

“Itu adalah masa-masa dimana sumber daya finansial mengalir ke Aceh dengan deras.  Namun, kini setelah lebih dari sedekade, Aceh sepertinya mulai ditinggalkan.  Pertanyaannya, apakah Aceh mampu berdiri di kaki sendiri untuk menopang kebutuhan pendanaan bagi berbagai kegiatan? Dana otonomi khusus lantas menjadi andalan.  Tapi itu juga akan berakhir tahun 2022, kemudian untuk tahun 2023 hingga 2027 jumlah alokasi dana otsus untuk Aceh akan berubah dari 2 (dua) persen menjadi 1 (satu) persen dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU)” lanjut Sanusi.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Besar, Juanda Jamal turut mengapresiasi YRBI.  Menurutnya, apa yang dilakukan YRBI bersama masyarakat adat sudah berada pada jalur yang tepat.  Dia berkomitmen untuk terus memperjuangkan inisiatif pengelolaan sumber daya alam berbasis mukim.

“Namun kita memerlukan pengelolaan sumber daya yang tepat dan efektif,” ungkapnya.

Menurut Juanda, pengalaman masyarakat, CSO, Pemerintah Aceh dan pihak lainnya dalam mengelola sumber-sumber finansial dari era konflik hingga rekonstruksi pasca tsunami telah membentuk karakter baru. 

“Kami terbiasa dengan kucuran finansial besar, tapi kini sudah tidak seperti dulu lagi. Keswadayaan akan menjadi tantangan terbesar dalam membangun Aceh,” kata Juanda.

Tapi Juanda yakin, sumber-sumber finansial dapat diupayakan lewat dana desa, dana otonomi khusus atau sumber APBN lainnya, serta dana yang bersumber dari APBA/APBK dan sumber pembiayaan swasta. 

“Kini, kebanyakan sumber daya itu masih mengendap dan tidak termanfaatkan.  Kita ditantang harus mampu menggali sumber-sumber tersebut agar bisa didaya-gunakan untuk kepentingan masyarakat adat di Aceh,” papar Juanda.

Gelora diskusi Juanda, Asnawi dan Sanusi tentulah bukan semata karena kepentingan masing-masing.  Ini adalah wujud peduli yang mereka tikamkan pada diri sendiri.  Aroma diskusi ini kian terasa konstruktif.

Di Lamteuba, diskusi soal aturan adat terus berlangsung.  Semangat yang kini turut membara di luar mukim turut memengaruhi.  Bahrum tersenyum penuh makna.  Dia membayangkan generasi penerus Aceh yang kembali seturut dengan budaya dan adatnya sendiri.

**