Oleh : Lukman Munir ” Ada Apa Di Jambo Reuhat Aceh Timur”
Kawasan Rawan Konflik
Bentangan alam di sepanjang bukit barisan yang melingkupi Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh dimulai dari kawasan Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Tamiang hinggga ke pantai Barat-Selatan Dan Utara Aceh, sudah cukup lama dikenal ke seluruh antero dunia sebagai sebagai salah satu paru-paru dunia.Sebagai salah satu gugusan hutan tropis yang menyediakankebutuhan oksigen bagi setiap makhluk di bumi buat dunia di beberapa benua. Selain sebagai kantong utama pusat habitat satwa liar yang kini semakin terancam kepunahan, antara lain Harimau Sumatra, Gajah Sumatra, Badak Sumatra serta sejumlah satwa liar lainya yang menggantungkan hidup dan berkembang biak di kawasan bentangan bukit barisan tersebut.
Menurut pantauan Lembaga LSM HAKA amatan melalui citra satelit terakhir dalam tahun 2019, bentangan hutan tadi lebih 0,5 juta hektar sudah gundul dan rusak dari berbagai sebab dan akibat. TNGL itu sendiri kini tercatat 1.094.692Ha, dari seluruhan areal hutan di Aceh dewasa ini tercatat 2.989.212 Ha. Kemudian bagaimana hubungannya dengan salah satu Gampong di Kabupaten Aceh Timur yakni Gampong Jambo Reuhat di Kecamatan Bandar Alam ini.
Sebabnya tidak lain adalah bahwa di Gampong Jambo Reuhat tersebut semenjak tahun 2000-an didera oleh berbagai kasus konflik di seputar hutan dan habitat satwa liar silih bergantibermunculan disana. Belum lagi akibat bencana alam diderita oleh Gampong tersebut mengintai setiap saat.Akibat banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan baik peristiwa murni karena bencana alam maupun sengaja dilakukan dalam upaya perluasan lahan perkebunan sawit maupun lahan karet dan tanaman lainnya.
Sekitar sepuluh tahun belakangan,cukup gencar timbul berbagai masalah dihadapi oleh warga setempat antara lain serangan satwa liar terutama gerombolan gajah, illegal loging dan perambahan hutan oleh penduduk luar warga Gampong setempat yang ingin membuka lahan perkebunan rakyat disana. Terutama di sekitar Dusun Alur Kacang yang berbatasan langsung dengan bekas areal perkebunan PT Bumi Flora sudah belasan tahun diterlantarkan, sudah habis masa berlaku HGU nya. Kasus eks perusahaan perkebunan ini sempat ditangani oleh Pemerintah Daerah Provinsi Aceh sekitar tiga belas tahun yang lalu dengan mengirimkan Tim Investigasi dan Penyelesaian kasus hingga kini agaknya belum tuntas. Timbul lagi kasus baru pencaplokan lahan perkebunan/ladang oleh penduduk luar yang kini gencar dipertanyakan warga setempat.
Sejarah Jambo Reuhat
Jambo Reuhat dalam catatan afdeling perkebunan zaman Belanda pernah disurvey sebagai salah satu kawasan dijadikan kebun karet dan sawit di tahun 1920-an. Jambo Reuhat termasuk salah satu perkampungan lama yang pernah didiami Suku Mante di hutan Kabupaten Aceh Timur. Kondisi letak geografis dan topografi areal lahan disana memang amat cocok untuk perkebunan aneka tamanan industri dan pertanian. Jambo Reuhat di masa itu khusus sebagai areal perkebunan saja, belum dijadikan lahan pemukiman permanenoleh warga setempat. Disana dibuatkan pondok sekedar untuk berteduh para buruh perkebunan, maka ada istileh “Jambo Rehat” alias Jambo tempat bersirahat menunggu dijembut oleh angkutan sarana transport perusahaan.
Di bekas lahan afdeling karet zaman Belanda itu bersebelahan dengan kawasan perkebunan karet Karang Inong dan kawasan Julok milik Pemerintahdikembangkan oleh PNP I Langsa yang kemudian dirubah menjadi PTP I Aceh. Andil Jambo Reuhat ini sesungguhnya masuk kedalam penyumbang produksi hasil karet dan sawit di awal bergerak PNP I Aceh.
Tetapi kemudian akibat tekanan ekonomi pada masa era Presiden RI Soekarno dan berlanjut ke Presiden RI Soeharto lahan perekbunan digarap PTP I ini diciutkan.Sebelum dijadikan plasma perkebunan karet oleh PTP V Labuhan Batu Sumatra Utara dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan tak lama kemudian tidak dilanjutkan (terlantar), masuklah PT Bumi Flora Lhokseumawe sebagai pemegang HGU terakhir di kawasan Jambo Reuhat itu yang akhirnya akibat konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM- RI dibiarkan juga terlantar hingga dewasa ini.
Menurut penuturan pencari rotan di hutan sekitar Jambo Reuhat kepada salah seorang tokoh masyarakat setempat Teungku Mudawali ,hingga saat ini suku pedalaman (terasing) di Aceh yakni suku Mante, masih ada disana ,meski amat sulit dilacak keberadaannya. Dikarenakan dikawasan tersebut terdapatr banyak lembah dan masih dijumpai hutan pprimer, dimana batang pohon kayu beriameter ukuran raksasa, sisa pemotongan oleh perusahaan industri playwood PT Gruti, PT Cipta Rimba Raya dan PT Aceh Playwood Langsa ditinggalkan karena konflik bersenjata. di era tahun 1990-an d zaman Pemerintahan RI Orde Baru Presiden Soeharto.
Riwayat sejarah Jambo Reuhat, oleh penduduk setempat sering digunakan oleh penduduk pencari rotan dari Gampong sekitarnya sebagai lokasi persinggahan buat menginap sembari mencari dan mengumpulkan rotan. Dari pada menginap di tengah hotan yang rawan dengan binatang buas.
Alkisah serombongan pencari rotan di zaman dahulu, oleh sekolompok mereka mendirikan bedeng buat mereka mnginap tepat dibawah seonggok pohon “reuhat” yang rimbun sudah tumbuh cukup besar. Sementara di bawah perdu pohon yang sering digunakan sebagai pelindung pagar kebun pohon berduri itu cukup bersih layak untuk dibuatkan bedeng. Di bawah pohon itulah oleh setiap pencari rotan digunakan sebagai “wisma” tempat mereka bermalam silih berganti. Dari penamaan tempat itulah maka dikenal dengan “Jambo Reuhhat” hingga sekarang.
Sementara ada kisah lain tim survey tambang minyak dan perkebunan, di zaman penjajahan kolonial Belanda ketika merintis perusahahan perkebunan karet dan sawit serta pertambangan minyak bumi, pada kala itu sekitar tahun 1920-an juga menggunakan lokasi tersebut sebagai tempat persinggahatn untuk istirahat yang lazim dinamai “Rehat” yakni perkataan dari mengaso sejenak. Penamaan lokasi tempat dikawasan tersebutlazim digunakan berdasrkan riwayat asal ditenntukan oleh penduduk yang mendiami dan diperkenalkan generasi pendahulu mereka.
Pencaplokan Lahan
Secara administratif Pemerinhan Gampong dewasa ini dibagi ke dalam tiga kawasan Dusun, yakni Kayu Lhee, Dusun Bukit Rawa dan Dusun Alur Kacang dimana dusun ini berbatasan langsung dengan areal HGU yang dipersengketakan oleh warga sebagai aeral hutan adat dan pemukiman rakyat dengan PT Bumi Flora Lhokseumawe. Total warga penduduk Gampong Jambo Reuhat dewasa ini sekitar 520 jiwa atau 159 KK. Total luas kawasan Gampong terdiri dari tanah persawahan 35 Ha, lahan perladangan 149 Ha dan aeral perkebunan rakyat sekitar 113 Ha. Gampong Jambo Reuhat sebelah utara dengan Gampong Blang Rambong, sebelah selatan dengan Kecamatan Serba Jadi (Lokop) sebelah timur dengan Kecamatan Peudawa dan sebelah barat dengan gampong tetangganya Seuneubok Bayu.
Hadirnya sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat disana coba menelisik permasalahan dihadapi oleh masyarakat setempat guna mencari solusi pemecahan kesulitan menderai mereka sehari-hari. Hadirnya YMKL Jakarta bersama YRBI coba menginisiasi pemahaman penduduk tentang hak-hak mereka terhadap hutan adat dan hak ulayat yang sudah diakui oleh Undang undang 1945, Peraturan Pemerintah RI dan ketentuan hukum lainnya.
Disisi lain, termasuk juga penguatan kapasitas lembaga Adat Mukim dan Gampong, antara lain bersama Lembaga Sage ikut merancang dan merintis pemetaan Gampong secara partisipatif bersama unsur pemuda dan sejumlah tokoh warga setempat. Sehingga menghasilkan peta Gampong yang definitif dapat digunakan sebagai kelengkapan adminitratif Pemerintahan Gampong dan Mukim kelak.
Perambahan hutan ini menggunakan Alat berat (Buldozer) terkoordinir secara rapi dan sistimatis, yang membuat masyarakat resah dikhawatirkan akan menimbulkan bencana terhadap lingkungan sekitar, mulai dari Banjir, longsor, dan Abrasi..Seperti kita tahu bahwa dampak illegal logging adalah sebagai berikut: Kesuburan tanah menurun karena tanah terpapar terlalu banyak cahaya Matahari, sehingga tanah menjadi lebih kering. Mata air menurun karena hilangnya akar tanaman yang salah satu fungsinya menjaga penyerapan air di dalam tanah. Jika ini terjadi dalam waktu yang panjang, maka akan mengurangi jumlah sumber air di dalam tanah.
Tumpang tindih pengunaan lahan.semakin menjadi-jadi akibat hadirnya beberapa perusahaan perkebunan yang masih diperdebatkan kehadirannya oleh masyarakat setempat dengan pihak Pemda Aceh Timur yang fasilitasi oleh sebuah Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit kerjasama dengan sebuah perkebunan kelapa sawit coba memperkelkan perkebunan sawit rakyat model “PIR” (Plasma Inti Rakyat).
Menurut sejumlah informasi masyarakat setempat, mereka sesungguhnya , pihak pengelola program PIR, seharusnya ada tahapan proses dilakukan dalam mengajak ikut serta di dalam pesertaa program. Proses dimaksud, dimusyawarahkan secara teransparan dalam pertemuan di lapangan bersama masyarakat setempat. “Ini jstru dilakukan pemanggilan ke kantor dinas terkait, harus terima secara sepihak apa yang disodorkan oleh pihak pengelola progam”, ungkap sebuah sumber dari masyarakat setempat tak ingin disebut namanya. Dari sejumlah kasus mengancam masyarakat dan potensi alam sekitar mereka di Gampong Jambo Reuhat, agaknya ke depan butuh proses penyelesaian secara menyuluruh dengan melibatkan segenap stake holder untuk bekerja sama menyematkan ruang kehidupan disana lebih berkesinambungan dan berkeadilan. Kita berhadap segala bentut teror dan intimidasi terhadap masyarakat adat di sekitar hutan segera dicari jalan pemecahan masalahnya. Tidak perlu mencari –cari modus operandi ke arah krimnalisasi. Hak-hak mereka jelas dan dilindungi oleh Undang-undang dan ketentuan hukum yang berlaku.